[🌸] Bercerita

Bisa dikatakan hari ini adalah hari pertama Yeonjun menginap di rumah sang mertua. Jika ditanya canggung atau tidak tentu saja jawabannya sangat. Tetapi itu hanya karena pikiran buruknya yang mengarah untuk diinterogasi lebih jauh, apalagi Yayah Yoongi terlihat jutek dan mengintimidasi.

“Jadi gimana, kalian udah ngapain aja?”

Yeonjun reflek batuk ketika Yoongi melontarkan pertanyaan begitu. Beomgyu yang berada di sampingnya segera menyodorkan air dan membantu suaminya itu untuk minum agar tidak tersedak. Ya, mereka kini sedang makan malam bersama di kediaman Choi Jimin dan Choi Yoongi.

“Yayah ihhh,” Beomgyu memerah malu.

“Becanda, tapi pasti cium-cium udah lah ya,”

“YAYAHHH!!”

Jimin ikut tertawa melihat Beomgyu frustasi dengan wajah semerah tomat, “Udah, udah, kasian anaknya pada salah tingkah, mending kita tanya aja yang lain,” pria itu tersenyum tipis, “tapi beneran cuma cium-cium doang, nih?”

“AYO NJUN KITA KABUR AJA.”

Kini Yoongi bahkan ikut tertawa geli, Beomgyu yang sudah bangkit berdiri ia tarik lagi untuk duduk. Melihat reaksi kedua anak muda di depannya justru memang yang mereka harapkan, jika masih malu-malu seperti ini berarti ada perkembangan yang baik untuk kedua perasaannya, karena jika mereka marah justru itu akan menjadi kemungkinan yang buruk.

“Oke, oke, gak ditanya hal aneh-aneh lagi. Ayah cuma seneng aja ternyata kalian bisa keliatan akrab kayak sekarang, katanya dulu sering berantem, kan?”

Yang paling muda di sana mengangguk dengan wajah masih memerah, “Untuk sekarang juga kadang berantem tapi ya tetep baik-baik aja,”

“Bagus. Kalo buat Yeonjun gimana? Beomgyu kita gak ngerepotin, kan?”

“Ayah ...” Beomgyu mengerucutkan bibirnya.

Yeonjun menghentikan makannya dan menatap Jimin antusias, “Ngerepotin sih Yah,”

Beomgyu melirik suaminya sinis, “Maaf sih kalo suka ngerepo-”

“Tapi sengerepotinnya Beomie, Yeonjun tetep aja nyariin dia,” kini ia tersenyum tipis, “gapapa mending Beomie ngerepotin Yeonjun setiap hari, asal dia gak ngejauhin Yeonjun walau hanya sehari.”

Mendengar itu Yoongi sampai menutup mulutnya, bahkan Jimin tidak bisa menahan untuk tersenyum sangat lebar hingga matanya tak terlihat lagi. Beomgyu sendiri jangan ditanya, ia sudah kehabisan kata-kata dan juga tidak tahu bagaimana harus berekspresi. Ya, otak Beomgyu sedang berhenti bekerja tiba-tiba.

“Ayah seneng denger jawaban kamu, Njun,” Jimin menyantap suapan terakhirnya dan kini menatap sepasang pengantin yang masih membangun cinta mereka, “Ayah baru kali ini ingin mempercayakan Beomie ke orang lain karena sebelumnya belum pernah sama sekali,”

“Beomie jomblo dari lahir, jadi kamu itu bakal jadi segala yang pertama buat dia, Njun.”

Entah kenapa mendengar itu membuat rasa bangga dalam diri Yeonjun meronta-ronta. Bahkan ia sampai harus menutup mulutnya untuk menyembunyikan senyuman selebar tembok besar cina.

“Jadi, Ayah dan Yayah sangat mempercayakan Beomie sama kamu, Yeonjun.” Jimin menepuk tangan Yeonjun yang berada di sebelah piringnya, “apa pun yang terjadi sama kalian ke depannya, Ayah sangat memohon agar kalian bisa mempertahankan pernikahan ini.”

Tetapi ketika mendengar itu senyuman Yeonjun luntur perlahan. Mempertahankan pernikahan? Yeonjun tidak mengerti apa yang ia pikirkan sekarang, terlebih lagi kini mereka terikat dengan perjanjian yang sudah mereka buat di hari pertama pernikahan. Janji bahwa mereka akan cerai jika semua permasalahan telah dipenuhi, lalu bagaimana bisa terlintas di pikiran mereka untuk mempertahankan pernikahan ini?

“Untuk itu doakan aja yang terbaik, Ayah, Yayah,” Beomgyu akhirnya membuka suara, pemuda manis itu melanjutkan ucapannya dengan serius.

“Kita juga gak tahu apa yang ada di masa depan, tapi kita selalu berharap semua akan baik-baik aja. Kita selalu mengharapkan yang terbaik. Jika memang Yeonjun baik untuk Beomgyu dan Beomgyu juga baik untuk Yeonjun, pernikahan kita pasti bisa bertahan.”

Ah, dia mengatakan suatu hal yang membuat Yeonjun kagum ke sekian kalinya.

“Beomie bener,” timpal Yoongi, ia sangat bangga bahwa ia mendidik seorang anak hingga bisa memikirkan jawaban sedewasa ini tanpa menyakiti pihak mana pun, “semua tergantung takdir kalian juga, Ayah dan Yayah gak akan minta lebih, mungkin janji untuk mempertahankan pernikahan kalian terlalu berat, Yayah cuma ingin kalian berdua bahagia tanpa saling menyakiti. Kalau janji ini bisa dipegang, kan?”

“Yeonjun bakal berusaha keras untuk itu,” kini Yeonjun yang menjawabnya dengan tegas, bahkan ia sambil menggenggam tangan Beomgyu di sampingnya yang terkejut, “asal itu juga dengan persetujuan Beomgyu yang mau percaya sama Yeonjun.”

Beomgyu tidak bisa menjawabnya. Tetapi ia hanya mengirimkan sinyal bahwa ia menyetujui perkataan Yeonjun untuk berusaha memenuhi janji itu. Ya, jika memang waktu perceraian akan datang tanpa ia tahu kapan, Beomgyu ingin perceraian itu menjadi perpisahan yang memang diputuskan tanpa adanya dendam atau menyakiti pihak mana pun.

Jika memang sudah tiba waktu mereka berpisah. Beomgyu ingin berpisah dengan Yeonjun dalam keadaan yang baik-baik saja.


Setelah menghabiskan makan malam bersama yang ditutup dengan canda tawa, kini sudah saatnya mereka melakukan ritual-ritual sebelum tidur yaitu dengan mencuci muka dan menggosok gigi. Mereka melakukannya bersama-sama, saling menjahili dan juga sedikit mengadakan pertarungan siapa yang lebih lambat menggosok gigi akan menuruti satu perkataan dari yang menang.

“Baibai, suami jelek!”

Beomgyu yang sudah selesai lebih dulu karena curang pun akhirnya keluar dari toilet untuk berlari ke kamarnya sambil tertawa penuh kemenangan. Tetapi kemudian tawa itu mendadak berhenti ketika ia menyadari bahwa Yeonjun juga akan kembali tidur berdua dengannya, di kamarnya, dengan ranjang yang ukuran biasanya hanya untuk satu orang.

“Beomgyu! Lo curang kan pasti lo gak nyikat gigi bagian- Beoms?”

Yeonjun yang baru datang sambil protes juga ikut bingung melihat Beomgyu yang membatu di depan pintu. Setelah melihat arah pandangnya, ia langsung bisa mengerti dan sedikit canggung akan hal itu juga.

“Njun, aku baru sadar kasurku ukurannya gak segede kasur kita di rumahmu,”

Yeonjun menghela napasnya, ia pun mengacak surai panjang Beomgyu perlahan, “Yaudah karena lo menang, gua bisa nurutin apa aja perkataan lo. Jadi gimana? Lo pengen gua tidur di bawah aja, kan?”

Beomgyu ditarik suaminya untuk segera duduk di atas ranjang, sementara Yeonjun mengambil satu bantal di atas kasur dan meletakkannya di lantai yang hanya dilapisi karpet berbulu. Sebelum Yeonjun bersiap untuk merebahkan tubuhnya, Beomgyu justru menarik ujung kaus Yeonjun pelan.

“Bukan gitu,”

“Terus?”

“Kamu tidur di atas juga sama aku.” cicitnya pelan.

Yeonjun melebarkan matanya, “Beom-”

“Ga usah protes, ga usah tanya lagi, kataya mau nurutin apa yang aku mau, kan?”

Beomgyu membuang mukanya yang sudah semerah tomat. Yeonjun yang juga tidak percaya bahwa suami mungilnya akan mengatakan hal itu pun juga ikut memerah. Mereka tidak mengerti apa yang sedang terjadi di sini, tetapi keduanya benar-benar memutuskan untuk berbagi ranjang kecil ini untuk dua tubuh mereka yang saling berdempetan satu sama lain.

Selama beberapa menit mereka terpejam dalam posisi saling membelakangi. Yeonjun dan Beomgyu yang pada dasarnya memiliki sifat tidak bisa diam pun akhirnya membuat posisi kedua tubuh mereka telentang dengan bersamaan.

“Aku gak bisa tidur!”

“Gua juga.”

Beomgyu melirik Yeonjun yang sedang menatap atap, “Kalo gitu kita saling cerita aja yuk, sampe kita cape dan akhirnya ada yang tidur duluan?”

“Hmm, setuju. Dimulai dari lo aja, gimana kalo gua tanya tentang cerita lo kenapa jomblo sampe sekarang?”

“IHH, rese pertanyaannya,” Beomgyu mencubit pelan lengan kekar Yeonjun yang kini tertawa.

“Tinggal jawab aja beres, pasti karena ga ada yang mau sama lo, kan?”

Beomgyu menggeleng, ia pun mulai bercerita, “Aku sebenernya mau-mau aja pacaran, bukannya aku kepedean juga, tapi beberapa ada kok yang deketin aku bahkan nembak langsung juga, tapi kamu tau gak kenapa aku gak terima?”

“Karena lo ga suka sama dia?”

“Itu bener, tapi seandainya aku suka dia juga, bukan berarti aku bakal nerima,”

“Terus?”

Yeonjun mendengarnya dengan seksama ketika Beomgyu kembali melanjutkannya, “Prinsip aku, pacaran ya terserah orang-orang yang mau ngejalaninnya, kamu tau kan untuk hal ini harus ada persetujuan dari kedua belah pihak. Apalagi pacaran menurutku bukan hal yang serius, dan aku paling gasuka sama hal itu,”

“Ohhh, makanya karena nikah itu serius lo jadi mau nikah sama gua? Bukan karena gua yang ganteng dan tajir ini?”

Beomgyu meliriknya sinis, “Dih, pede banget. Aku cuma gamau aja terikat sama hal yang gak pasti kayak begitu, Njun. Apalagi yang ngajak pacaran masih jaman-jaman sekolah, pasti lagi masa selabil-labilnya remaja, kan?”

“Tapi gak seru dong gak ada kenangan cinta-cintaan pas sebelum nikah?”

“Padahal kamu sendiri juga gak ada pengalaman cinta-cintaan, kan?” selidik Beomgyu yang membuat Yeonjun tidak bisa mengelak. Ia sendiri memang belum pernah berpacaran, menyukai seseorang saja jarang bertahan lama.

“Aku mau ... melakukan suatu hal itu yang gak ngerugiin aku dan gak ngerugiin orang lain, kalo menurutku pacaran itu bakal ngerugiin aku, aku gak suka dipanggil mantan, aku gak suka ketika nanti diputusin, aku bahkan gak suka kalo harus jatuh cinta sama orang yang salah,”

“Jadi lo ngelakuin ini semua atas dasar perlindungan untuk diri lo sendiri, begitu? Untuk jaga-jaga dari resiko sakit hati dan kecewa?”

“Betul,”

“Terus kenapa lo mau nikah sama gua padahal lo sendiri tau kalo kita menikah juga tanpa cinta dan belum tentu punya akhir yang bahagia?”

Yeonjun menatap Beomgyu intens, sementara yang ditatap kini tersenyum miris.

“Di dunia ini kan yang hidup bukan kita aja, Yeonjun. Ada masanya emang kita egois dan selalu mikirin diri sendiri, tapi kalo kita udah punya suatu hal yang berharga lebih dari apa pun di dunia ini, kita bakal rela ngelakuin apa aja untuk hal itu, kan?”

“Maksudnya?”

“Keluarga. Orang tua aku. Menurut mereka pernikahan ini adalah yang terbaik untuk keluarga kami dan mereka seneng banget kalau aku mau nerima perjodohan ini,” kemudian Beomgyu mengubah senyum miris itu menjadi senyuman manis nan tulus yang baru pertama kali Yeonjun lihat, “ya, kebahagiaan Ayah Yayah akan selalu jadi hal yang paling aku utamain, dan seperti yang aku bilang tadi, aku juga suka untuk ngelakuin hal ini dan menurutku gak ngerugiin siapa pun karena kamu pun setuju untuk nikah sama aku, kan? Aku suka untuk melakukan hal yang ngebuat mereka seneng, salah satunya dengan nerima perjodohan kita waktu itu ...”

Yeonjun terdiam dalam beberapa saat untuk mencerna perkataan yang barusan suami kecilnya ini utarakan. Ia tidak menyangka bahwa ia kembali melihat sisi lain yang tidak ia ketahui dari Beomgyu dan segala pikiran dewasa yang pemuda manis itu miliki. Tidak ada nada kebohongan di sepanjang ia bercerita, hanya ada ketulusan yang murni seputih susu bersih. Tetapi nyatanya justru hal itu juga yang membuat hati Yeonjun mendadak sakit.

“Tapi, Gyu. Bukannya hal itu justru secara gak langsung ngartiin bahwa lo sebenernya merelakan kebahagiaan lo demi orang lain?”

Pertanyaan itu tiba-tiba terlontar begitu saja tanpa Yeonjun pikir panjang lagi akan menyakiti hati Beomgyu atau tidak. Ia menunggu beberapa saat agar suara lembut itu kembali terdengar, tetapi nyatanya tidak ada jawaban sama sekali selain suara napas teratur dari sampingnya.

Yeonjun pun memiringkan tubuh dan akhirnya melihat Beomgyu yang kini sudah jatuh tidur duluan bahkan sebelum menyelesaikan ceritanya. Kedua sudut bibirnya terangkat hanya dengan menatap wajah polos nan tenang dari suami kecilnya ini. Tangan Yeonjun pun tak tinggal diam untuk ikut membelai pipinya yang halus.

“Ternyata lo malah tidur duluan, dasar curang.”

Ketika terus menatapi wajahnya, Yeonjun seakan menyadari suatu hal. Mungkin jawaban dari pertanyaannya akan Beomgyu jawab dengan ‘aku bahagia kok, bukan ngerelain kebahagiaanku, kita jadi sama-sama bahagia’ karena Yeonjun yakin seratus persen dari perumpaan yang tadi ia berikan bahwa hati Beomgyu dan ketulusan yang ia lakukan untuk kasih sayang pada orang tuanya seperti seputih susu murni yang bersih.

Beomgyu selalu menjaga dirinya sendiri dengan baik dan juga tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Lantas, apa keputusan Beomgyu dengan menjadi suaminya akan merelakan apa yang telah ia pertahankan selama ini?

Apa dengan menikah bersamanya Beomgyu siap untuk merelakan susu putih bersih itu mendapatkan satu titik hitam pertamanya?

Dengan gerakan perlahan, Yeonjun membawa tubuh yang lebih kecil dan terlihat rapuh itu untuk mendekat ke arahnya. Yeonjun memeluk Beomgyu senyamannya pemuda mungil itu hingga ia bisa rasakan Beomgyu kini bersandar pada dadanya yang bidang.

Yeonjun merasa bahwa hidupnya tidak pernah terlalu seserius Beomgyu. Jadi, apakah sebenarnya ia pantas mendapatkan laki-laki yang sangat murni ini untuk dijadikan suaminya? Yang bahkan mereka sendiri sudah memutuskan sejak awal untuk bercerai?

Karena menurut Yeonjun, tidak ada kata ‘baik-baik saja’ dalam sebuah perpisahan.

“Ternyata lo bisa lebih curang lagi, Gyu.” Yeonjun menundukkan kepalanya, kemudian dengan sengaja kembali mengecup kilat bibir Beomgyu yang masih di alam bawah sadarnya, “lo curang karena sekarang gua jadi ikut mikir, untuk ngelakuin hal nekat dengan ingin ngeliat lo juga bahagia lebih dari siapa pun bahkan jika itu harus ngerelain kebahagiaan gua.”

Yeonjun kembali mengeratkan pelukannya dan sesekali menghujani kepala Beomgyu dengan kecupannya selagi ia bermonolog.

“Gua ga ngerti ini perasaan apa, yang jelas apa yang tadi Ayah dan Yayah minta kita berjanji untuk kita saling bahagia, gua bakal nepatin janji itu. Karena gua sangat ingin ngeliat lo bahagia, apa pun keputusan lo, mau kita tetep menikah atau bercerai, kalau emang ada yang bisa bikin lo bahagia, gua rela ngelakuin itu untuk lo.

Gua bertekad untuk mempertahankan susu bersih itu akan selalu putih tanpa noda dari siapa aja bahkan gua sekali pun.

Hanya untuk lo, Choi Beomgyu yang sialnya udah gua sayangi mulai detik ini juga.” []

© 2021, moawaua.