[🌸] Pergi
Setelah Beomgyu selesai mengatakan itu semua, Yeonjun juga masih menunduk dan belum memberi balasan sama sekali. Ya, sepertinya untuk menatap wajah Beomgyu laki-laki itu juga tidak mau.
“Yaudah, Kak, gitu aja. Aku pergi dulu, ya?”
Bukan pergi dari hadapannya saja, melainkan hidupnya juga.
Suaranya yang kian bergetar membuat Beomgyu tak mampu lagi menahannya. Ia pun membalik badan, tidak kuat dan kembali melanjutkan tangisnya yang kian mengeras.
Setidaknya Beomgyu telah berhasil mengutarakan semuanya, setidaknya tidak ada lagi penyesalan untuk membuat Yeonjun mengetahui perasaannya. Ya, setidaknya Beomgyu sudah merasa cukup akan hal ini.
Maka dari itu, ia memutuskan benar-benar pergi menjauh dari Yeonjun sekarang juga.
Tetapi sebelum itu terjadi, sepasang tangan telah menarik tubuhnya untuk didekap dari belakang.
Tanpa melihatnya Beomgyu sudah tahu bahwa itu adalah tangan milik Yeonjun dan juga bau khas pemuda itu.
“Gyu, maaf ...”
Beomgyu menggeleng, “Aduh, Kak, jangan begini ... nanti aku malah tambah sedih,”
“Bukan itu,” Yeonjun mengeratkan pelukannya,
“tapi Kakak masih suka banget sama kamu.”
Eh? Sebentar.
Beomgyu ingin membalas ucapan lelaki itu, tetapi ia lebih dulu merasakan bahunya basah sedetik kemudian.
Tunggu, Yeonjun yang menenggelamkan wajahnya di bahu Beomgyu ... tengah menangis?
“Kak-”
“Aduh, gak bisa tahan lagi gue anjir,”
“Kak Njun-”
“Iya! Kakak masih suka banget sama kamu. Cinta mati, Bami! Ya kali perjuangan Kakak Njun kamu ini segitu doang?!”
Yeonjun mengangkat wajahnya yang kini juga terlihat berantakan akibat menangis. Beomgyu mematung sejenak, ia membalik tubuhnya dan menatap Yeonjun dengan tatapan paling bingung sedunia yang akhirnya dibalas laki-laki itu dengan cubitan gemas di hidung merahnya.
“Kakak tadi becanda, kirain kamu bakal biasa saja taunya malah makin nangis,” Yeonjun tersenyum lebar dengan sorotan mata memuja paling dalam, “kamu juga lucu banget sih, ya kali Kakak gak suka sama kamu lagi, orang gila itu namanya.”
“Kak-”
“Eh tapi Kakak emang udah gila juga sih, tergila-gila sama Choi Beomgyu namanya.”
Yeonjun tertawa dan membangkitkan perasaan menggelitik yang menyenangkan dalam diri yang lebih muda. Beomgyu akhirnya hanya bisa diam dan membiarkan air matanya terus mengalir tanpa disuruh.
Tidak ada yang bisa menggambarkan bagaimana keadaan hati Beomgyu sekarang. Sorotan mata Yeonjun ketika memandangnya, pelukan hangatnya, senyum di wajahnya, suara lembut menyejukkannya. Beomgyu benar-benar merindukan hal itu semua.
“Udah, udah, jangan nangis lagi, aduh ... Kakak minta maaf,”
Yeonjun mengusap air mata di pipinya dan juga pipi Beomgyu karena si kecil masih menangis dengan wajah merahnya yang lucu.
“Kak Njun ... ini beneran?”
“Haha, ya beneran, kamu ini nangis sampe segitunya, cinta banget ya sama Kakak Njunmu yang paling ganteng se-Depok ini?”
“Iya ... cinta banget. Kenapa emang? Gak boleh?” Beomgyu mencubit pinggang Yeonjun yang membuat pemuda itu merintih, “Suka banget ya ngisengin aku? Padahal aku udah panik banget ... padahal aku juga udah berharap kalo aku bener-bener gak salah suka sama Kak Yeonjun, aku udah ngelawan rasa takut aku, aku- aku udah-”
“Sstt, iya, iya, Kakak minta maaf, ya? Kakak janji gak akan ngisengin kamu lagi, oke?”
Yeonjun kembali membawa Beomgyu dalam dekapan hangatnya, sesekali juga ia menghujani kecupan-kecupan ringan di pucuk kepala Beomgyu dengan sayang.
“Makasih kamu udah berani ngutarain hal ini duluan, kamu gak salah Bami, karena Kakak bisa buktiin kalo Kakak bakal jadi orang yang juga gak salah untuk kamu cintai ...”
Beomgyu pun membalas pelukan Yeonjun sama eratnya, “Aku sayang Kak Njun ...”
Yeonjun memerah total mendengarnya, kalau bukan di sekolah mungkin ia akan langsung mencium Beomgyu bertubi-tubi saat itu juga.
“Kakak juga. Kak Njun sayang sama Dik Bami,”
“Jangan Dak, Dik, Dak, Dik lagi dibilang ...”
“Hehehe, iya, iya, kalo Sayangku aja gimana?”
Kini Beomgyu yang tertawa, “Boleh, tapi jangan terlalu sering, nanti aku pusing balesnya,”
Keduanya tetap berpelukan untuk saling menyalurkan kehangatan meski cuaca Depok selalu panas. Keduanya berpelukan seakan dunia akan hancur sebentar lagi jika mereka melepaskan pelukannya. Hingga pada akhirnya Yeonjun teringat dengan tujuan utama Beomgyu yang menahan kepergiannya agar tetap tinggal di Depok.
“Bami, sebenernya tadi Kakak gak sepenuhnya bohong,”
Beomgyu sedikit menahan napasnya mendengar itu, ia perlahan meregangkan pelukannya dan menatap mata Yeonjun, “Kenapa?”
“Kakak emang gak kuliah di luar negeri, tapi Kakak bakal kuliah di luar kota, kamu gapapa?”
“Apa itu kemauan Kakak?”
“Iya, Kakak gak terlalu yakin buat ngambil universitas kayak UI, Kakak mau coba ambil Unpad karena Kakak liat di situ ada peluang Kakak bisa masuk, sekalian Kakak mau ngerasain ngerantau dan jadi mandiri ...”
“Kalo itu emang kemauan Kak Njun, itu pasti yang terbaik buat Kakak juga. Kakak yang paling ngerti diri Kakak sendiri maunya gimana, sementara aku hanya akan selalu dukung jika itu keputusan yang sudah Kakak pikirin baik-baik untuk kebaikan Kak Yeonjun.”
Yeonjun mengerjapkan matanya tidak percaya, “Kamu ... gak marah?”
“Kenapa harus marah kalo aku bisa bangga?” Beomgyu tersenyum, “Aku doain semoga Kak Yeonjun keterima di mana pun yang terbaik untuk Kak Yeonjun.”
Detik itu juga Yeonjun memijit pelan kepalanya dan membuat Beomgyu sedikit bertanya-tanya.
“Aduh, pusing banget ... boleh gak sih aku gak usah kuliah dan langsung nikahin kamu aja?”
“Heh!”
Beomgyu menepuk pelan dada Yeonjun dan keduanya saling melempar tawa. Kini mata mereka juga ikut berbinar memancarkan kebahagiaan yang sama.
“Akhirnya waktu yang Kakak tunggu tiba juga, Kakak udah pernah janji, kan? Kakak bakal nembak kamu di lain waktu?”
Beomgyu tersenyum dan mengangguk-angguk semangat.
“Jadi ... kamu mau jadi pacar Kakak?”
“Engga,”
Yeonjun melunturkan senyumnya, “Eh? Masih ditolak nih?”
“Engga salah lagi!”
Setelah itu Beomgyu menutup wajahnya yang memerah malu bersamaan dengan Yeonjun yang langsung bersorak penuh kemenangan. Yeonjun pun memeluk Beomgyu dengan mudah bahkan sampai mengangkatnya, mengajaknya berputar-putar untuk merayakan hari gembira mereka.
“Wah, bahaya nih, kayaknya Kakak terlalu seneng sampe gak bisa fokus buat sekolah lagi,”
Yeonjun menurunkan tubuh Beomgyu dan menatap matanya penuh antusias, “Kita cabut aja gimana?”
“H-hah? Cabut?”
“Yuk, kita pergi ke Ancol? Kakak tau jalan pintas buat biasa cabut,”
Yeonjun meraih jemari Beomgyu untuk ia genggam erat lalu ia ajak si kecil untuk ikut berlari bersamanya meninggalkan lorong lantai dua sekolah.
“Eh, Kak? Tapi tas kita gimana?”
“Gampang, dompet dan hp sama kita sendiri, kan? Kalo untuk tas, biar anak Malih dan temen-temenmu yang jagain,”
“Oh-oke,”
Yeonjun menatap Beomgyu yang panik di sampingnya dengan tatapan geli, “Baru pertama kali cabut? Kakak janji bakal ngebuat cabut pertama kali kamu jadi yang paling berkesan.”
“Aku percaya kalo itu sama Kak Yeonjun.” Jawab Beomgyu dengan senyuman manisnya.
“Bagus. Nanti kita tetep harus lari meski ada Bu-”
“CHOI YEONJUN! CHOI BEOMGYU! MAU KE MANA KALIAN?”
“-Bu Susi! LARIIIII!!”
Yeonjun dan Beomgyu mempercepat larinya sambil tertawa senang di tengah kepanikan yang melanda mereka berdua.
Yeonjun yang tetap membawa Beomgyu pergi berlari sama seperti lari dari masa lalunya untuk bisa meraih kebebasan boleh mencintai, dan juga Beomgyu yang tetap mempercayai Yeonjun untuk membawanya terus berlari maju hingga tak kembali tenggelam dalam rasa takut untuk kembali mencintai seseorang.
Ya, seperti ini sudah lebih dari cukup. Beomgyu harap kisah lika-liku masa remaja yang labil miliknya akan berakhir bersama Yeonjun. Entah itu akan berjalan asam, pahit, manis, Beomgyu akan tertantang untuk bisa melaluinya jika itu bersama Yeonjun.
Dengan Yeonjun yang ternyata masih dan selalu mencintai Beomgyu dan juga Beomgyu yang sudah dan akan terus mencintai Yeonjun.
Keduanya akan membangun kisah cinta dengan rasa dan pengalaman yang tentunya akan lebih beragam dari kuah semangkuk seblak, dengan kedua hati yang kini benar-benar utuh untuk saling melengkapi.
Tidak satu hati tetapi dua, tidak jatuh cinta sendiri tetapi bersama. []
© 2022, moawaua.