[🌸] Salah

Sudah hampir sebulan lebih Yeonjun dan Beomgyu saling mengenal satu sama lain, dan selama itu pula kedua hubungannya semakin dekat.

Mulai pendekatan dari hal-hal kecil yang dilakukan Yeonjun nyatanya membuat Beomgyu yang cuek lama-lama luluh juga. Seperti ketika dua Minggu lalu di sekolah, saat anak-anak OSIS biasa menawarkan danusan mereka, tiba-tiba Yeonjun ikut membantu walau hanya ingin cari perhatian pada kelas Beomgyu.

“Danusannya, Dek?”

Siapa yang tidak mengenal Yeonjun di sekolah ini kecuali Beomgyu dulu dan orang-orang sejenisnya? Ditawari seperti itu mereka yang satu kelas dengan Beomgyu pasti dengan semangat membelinya.

Tapi perhatian Yeonjun selalu tertuju pada Beomgyu, sambil mengitari bangku kelas, ia menyempatkan dirinya untuk berdiri di samping bangku Beomgyu duduk bersama Jeongin hanya untuk menanyakan satu hal.

“Nanti pulang bareng Kakak lagi, ya?”

Satu kelas tentu mendengarnya, merasa iri dan gemas ketika melihat sinteron sungguhan di depan mereka. Sementara Beomgyu hanya mengangguk sebagai jawaban tapi sudah membuat Yeonjun tersenyum bahagia.

Tak hanya itu, banyak kesempatan-kesempatan yang Yeonjun gunakan untuk bisa menarik perhatian Beomgyu. Mulai dari di kantin, saat upacara, jam kosong, bahkan jam olahraga yang masih ada gurunya.

“Kak Njun, ngapain?!” bisik Beomgyu tidak percaya ketika melihat Yeonjun ikut bergabung di kelas olahraga mereka, bahkan sampai memakai seragam olahraganya juga.

“Sst. Pak Burhan udah kenal sama Kakak jadi pasti gapapa,” ia menarik-turunkan alisnya pada guru olahraga mereka dan Pak Burhan membalasnya dengan acungan jempol.

Hueningkai, Taehyun, dan Jeongin yang menyadari itu sampai menggelengkan kepala mereka karena mereka tahu Yeonjun memang sering nekat. Hal ini sudah seperti gebrakan baru Yeonjun yang biasa mereka maklumi.

“Ngapain ikut kelas olahraga aku? Emangnya Kak Njun lagi gak ada kelas?” Beomgyu menahan tawanya, jujur ia terhibur dengan setiap tingkah yang dilakukan Yeonjun untuk mengikutinya.

“Ada, kelasnya Pak Asep, tapi Kakak izin ke toilet, sama izin tambahannya pengen ketemu kamu,”

“Dih, mana ada izin tambahan gitu,”

Keduanya terkekeh, sampai 15 menit kemudian setelah Yeonjun asyik bermain-main dengan mereka, terlihat Woojin dari lantai 2, di depan kelas 12 IPS 3, tengah memberikan sinyal tanda silang yang membuat Yeonjun panik saat itu juga.

“Bami, waktu Kakak udah abis, Ujin udah ngasih sinyal bahaya,”

Beomgyu ikut panik, “Eh, terus gimana? Ya udah Kak Njun balik cepetan!”

“Kamu gamau bilang semangat atau hati-hati dulu gitu?”

Yeonjun menatapnya penuh harap, Beomgyu pun membalasnya dengan senyuman seraya berbisik.

“Hati-hati, jangan sampe ketauan, nanti gaboleh ketemu aku lagi,”

Yeonjun mendengus senang, “Gak akan.”

Begitu banyak tingkah Yeonjun yang secara terang-terangan mendekati Beomgyu. Satu sekolah tahu mereka sering terlihat bersama mulai di dalam sekolah sampai pulang sekolah bersama dengan vespa milik Yeonjun.

Bahkan di luar waktu sekolah keduanya sering pergi bersama, terlihat dari postingan twitter masing-masing. Membuat siapa pun yang melihatnya pasti bertanya-tanya tentang status mereka berdua.

Beomgyu sendiri tidak pernah mau memikirkan hal itu karena ia hanya ingin berteman dengan Yeonjun, dan ia merasa nyaman dan baik-baik saja soal itu. Sampai ia melupakan fakta bahwa Yeonjun masih terus dan semakin menyukainya tetapi belum juga ia terima sebagai kekasihnya.

Apa aku jahat? Tapi aku juga gak bilang aku ngasih harapan ke Kak Njun, kan?

Menfess terakhir sebulan lalu tentang hubungan mereka berdua membuat Beomgyu masih memikirkannya hingga sekarang.

Haruskah ia menanyakannya pada Yeonjun? Haruskah ia membahas permasalahan ini padanya dengan lebih serius? Haruskah ia perjelas lagi bahwa ia tidak bisa membalas perasaan laki-laki itu?


“Bami!”

Selagi Beomgyu melamun di tempat kasir, ia melihat Yeonjun memanggilnya, tak lupa dengan senyuman hangat yang entah kenapa reflek membuat kedua sudut bibirnya ikut tertarik. Hari ini mereka kembali bertemu seperti biasa di warung seblaknya.

“Seblak lagi?”

Yeonjun menggeleng, “Ngga, Kakak pesen minum sama roti bakar aja, bisa berak-berak nanti kalo kebanyakan seblak,”

Mereka berdua terkekeh. Yeonjun inisiatif pergi ke meja makan, sementara Beomgyu juga langsung menyiapkan pesanannya. Hari ini pelanggan cukup sepi untuk yang makan di tempat, jadi kini hanya ada Yeonjun dan satu orang lainnya di sana.

Suasana sepi tidak akan membuat mereka canggung, karena selama pendekatan hingga saat ini keduanya saling memberikan energi positif yang cocok. Bahkan teman-temannya juga bingung melihat mereka sudah sedekat ini padahal sebelumnya sempat terlibat perselisihan.

Ya, walaupun perselisihan itu jusrtu dalang di balik kedekatan mereka.

“Lagi sepi, Bam?”

Beomgyu mengangguk sambil meletakkan pesanan Yeonjun di depannya, “Sepi yang makan di tempat aja sih, kalo yang pesan antar tetep rame,”

“Gapapa sekali-kali sepi, biar waktu berduaan kita ga diganggu juga,”

“Mulai ...”

Yeonjun tertawa, Beomgyu bahkan sudah sangat terbiasa dengan segala gombalannya. Sudah seperti kebiasaan juga setiap Yeonjun mampir ke warungnya jika ia tidak sibuk, ia akan menemani laki-laki itu makan. Ya, memang Yeonjun juga tujuannya ingin menemui Beogmyu karena rindu.

“Besok mau jalan-jalan lagi, gak? Kayaknya dufan ada promo,” tanya Yeonjun disela-sela suapannya.

“Hm? Boleh, tapi kali ini aku yang bayarin,”

“Kok kamu, kan Kakak yang ngajak,”

“Ih, Kak Njun udah sering, masa aku kalo bayarin cuma jajanan SD atau boba terus,”

“Kamu beli aja makannya, Kakak tiketnya kalo gitu,” final Yeonjun.

Seperti biasa juga Beomgyu menurutinya. Yeonjun terlalu baik untuk ukuran teman, tapi Beomgyu juga tidak ingin berasumsi buruk bahwa segala perbuatan baik Yeonjun karena tetap pada agenda pendekatannya.

Mendadak perasaan Beomgyu cemas, kini ia kembali mengingat menfess terakhir yang dikirim tentang mereka berdua sebulan lalu. Ia tidak tahu apakah Yeonjun sudah membacanya atau belum waktu itu.

Tapi karena hal itu pula, tiba-tiba terlintas suatu pertanyaan mengganjal di pikiran Beomgyu dan ia ingin menanyakannya pada Yeonjun sekarang juga.

“Kak, pernah gak sih takut jatuh cinta?”

Yeonjun menggeleng santai, “Belum? Apa yang ditakutin emang?”

“Oh, belum,”

“Kenapa nanya itu tiba-tiba?”

Beomgyu menghela napas gusar, “Gapapa, pengen tau aja. Soalnya aku gak percaya dan gak mau terlibat sama hal cinta gitu, kayak ... aku gak siap aja kalo jalan kehidupan cintaku gak semulus novel atau drama,”

“Kamu takut?”

“Bisa dibilang begitu, aku ngerasa kalo jatuh cinta cuma bikin aku rugi aja, syukur kalo berjalan baik, kalo berjalan buruk, bakal nyusahin akunya, udah dihancurin, terus disuruh nyusun perasaan dari awal lagi, aku gak suka ... perasaan jatuh cinta itu fatal dan salah untuk hidup aku.”

Mendengar itu membuat Yeonjun meletakkan garpunya, ia menatap netra seindah galaksi itu dengan seksama.

“Bami, perasaan jatuh cinta itu gak salah, melainkan indah. Tapi kalau selama proses mencintai itu kamu cuma dapet penderitaan dan sakit hati, itu tandanya kamu jatuh cinta sama orang yang salah.”

Beomgyu mengerutkan dahinya, “Orang yang salah? Tapi bukannya kita gak bisa nentuin kita bakal jatuh cinta sama siapa?”

“Betul, tapi kamu juga dikasih dua opsi untuk memilih dalam proses mencintai orang itu, yaitu nikmati atau berhenti.” Yeonjun tersenyum tipis sebelum melanjutkan, “kamu bisa berhenti mencintai di awal kamu merasa sakit hati atau sedih, bukan justru kamu maksain untuk terus cinta karena ada harapan yang masih ingin kamu raih. Kita juga gak boleh buta dalam mencintai seseorang, jangan karena dia begini lah, begitu lah, kamu juga harus punya alasan kenapa kamu milih untuk tetap mencintai dia, dan jawaban itu harus yang berdampak positif ke kamu, seperti nyaman, bahagia, motivasi, dan lain-lain,”

“Aku gak ngerti ...”

Raut wajah Beomgyu mendadak bingung, membuat Yeonjun gemas dan segera meraih telapak tangannya untuk ia genggam lembut.

“Contoh mudahnya, seperti Kakak ini. Dulu Kakak anggep rasa ke kamu cuma sekadar suka, tapi ternyata cinta, Bam. Dan jatuh cinta sama kamu cuma bikin Kakak seneng dan nyaman, ngerasa kangen terus pengen ketemu kamu, nyaman saat berduaan sama kamu, bukannya justru menderita. Kakak masih memilih opsi untuk menikmati masa-masa Kakak mencintai kamu karena dampak positif itu, terlepas Kakak juga gatau gimana perasaan kamu ke Kakak.”

“Jatuh cinta ... sama aku?”

Yeonjun tersenyum tulus, “Ya, dan bagi aku juga, kamu itu bukan orang yang salah untuk dicintai, Beomgyu.”

Beomgyu tidak mengerti harus bagaimana ketika mendegarnya. Darahnya seakan berdesir hebat, bahkan jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari biasanya.

Senyuman Yeonjun, kalimat yang keluar dari bibirnya, tatapan yang tulus, serta genggaman tangan Yeonjun, semuanya membuat ia membeku di tempat.

Kak Yeonjun? Jatuh cinta sama aku dan bilang kalo aku orang yang pantas untuk dicintai?

Kini napas Beomgyu tercekat, dadanya mendadak sesak. Ada perasaan yang tidak asing dan ingin ia lupakan itu kembali muncul ke permukaan.

Perasaan yang harusnya bisa membuat sensasi kupu-kupu seakan terbang di perutnya, tetapi perasaan itu juga yang seakan menarik kembali Beomgyu ke lubang hitam yang ia takuti.

Perasaan yang sudah ia buang, perasaan yang sudah ia kubur dalam-dalam, perasaan yang ia tolak untuk muncul, perasaan yang ia tidak sukai.

“K-kak, aku pergi dulu, ada hal yang aku urus.”

“Urus a-Bami!”

Beomgyu langsung bangkit dan berlari meninggalkan Yeonjun yang heran melihat kepergiannya. Ia mempercepat langkah untuk ke dapur, bersandar pada tembok dengan napas terengah-engah sambil meletakkan tangannya di atas dada. Merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia lemas dan jatuh duduk di lantai.

Beomgyu menggeleng pelan, “Ini salah, ini udah salah ...” []

© 2021, moawaua.