moawaua

Selepas dari perpustakaan setelah memfotokopi materi untuk ulangan besok, Taehyun dan Jeongin berniat untuk kembali ke kelas yang pasti sudah sangat sepi karena waktu pulang sekolah sudah lewat satu jam yang lalu.

Mereka kembali untuk menemui Beomgyu di sana yang selalu paling lama menetap di sekolah. Mereka sudah biasa memaklumi bahwa Beomgyu sering menghabiskan waktu di sekolah lebih lama jika tidak pulang bersama mereka, entah hanya untuk tidur, menjalani hukuman, atau sekadar ingin menumpang wifi gratis ketika wifi di rumahnya bermasalah.

“Akhir-akhir ini untung kita ga ada gelut ye, sama Dobleh yang beloon itu,” ucap Taehyun selagi mereka berjalan menuju kelas.

“Hahaha, mungkin mereka mau fokus ulangan juga, lagian paling kita bisa aja berantem kalo gak taunya kelas kita digabung sama mereka,”

Taehyun menyetujui ucapan Jeongin, “Bener juga, bisa abis kelas diacak-acak apalagi sama Yeonjun dan Beomgyu, tahun kemaren aja dua-duanya disuruh ikut kelas tambahan gara-gara malah adu panco pas ulangan anjir, gangerti lagi gue sama mereka,”

Mengingatnya saja sudah membuat Jeongin geleng-geleng kepala. Memang benar bahwa keduanya sering berselisih, tapi entah mengapa tidak seperti dirinya dan Hyunjin yang benar-benar bermusuhan. Hubungan Yeonjun dan Beomgyu sedikit berbeda karena tidak ada percikan benci dalam diri masing-masing.

“Abis pulang ini Lo mau langsung belajar, Tyun?” tanya Jeongin untuk membuyarkan lamunannya dari dua idiot itu.

“Iya kayaknya, besok sejarah harus banyak ngapalin lagi gue,”

Mereka pun sampai di lokasi tujuan dan Jeongin bisa melihat ke arah kelasnya yang sepertinya masih ada tanda-tanda kehidupan lewat lampu kelas yang menyala, bahwa Beomgyu masih belum diusir oleh Mamang sekolahnya. Tapi tidak apa, itu artinya ia bisa mengembalikan bukunya pada lelaki itu.

“Iya besok sejarah susah banget apalagi bagian yang- ANJING!”

Taehyun tersentak kaget saat Jeongin tiba-tiba mengumpat di sampingnya ketika mereka baru saja membuka pintu kelas. Mau tak mau ia mengikuti arah pandang Jeongin, yang ternyata baru saja melihat sosok Beomgyu sedang membelakangi mereka dengan sosok lain di depannya yang ternyata adalah Yeonjun.

“Loh? Ayen, Tyun, gak jadi pulang?”

Beomgyu menoleh dengan santai, padahal jelas-jelas tadi posisinya seperti baru saja habis berciuman dengan Yeonjun sambil membelakangi mereka. Jeongin menatap keduanya penuh kecurigaan.

“Lo barusan ngapain anjir?”

Beomgyu melirik Yeonjun di belakangnya, “Barusan? Ini Yeonjun baru aja niup debu di mata gue, kayaknya ketimpa debu dari ac deh,”

Taehyun menghela napasnya, “Anjir, gue pikir Lo berdua ciuman, bangsat.” ia memandang jijik pada keduanya, kemudian melirik Yeonjun sinis, “terus kenapa ada si Yeonjun di sini?”

“Wes, santai Bro, gue cuma nagih jaket dari dia,”

Yeonjun mengangkat jaket hitam miliknya untuk ditunjukkan kepada mereka berdua, tapi Taehyun dan Jeongin justru tambah memandang mereka dengan kecurigaan total.

“Lah, kan itu bukannya jaket yang kemaren Lo pake pas kita main?”

“Iya, ketinggalan di kelas dia, kan kemaren-kemaren gue dihukum suruh bersihin kelas se-IPS, tadinya mau gue jadiin hak milik, tapi kasian dia nyariin banget,”

“Oalah, anjir, hahaha ...”

Taehyun dan Jeongin tertawa canggung, pasalnya Beomgyu sendiri menjawabnya dengan santai tanpa adanya terbata-bata, mereka jadi bisa yakin bahwa memang tidak ada tipu muslihat di balik ucapannya. Lagi pula sekarang memang sedang musim hujan, tidak aneh jika memang Beomgyu memakai jaket ke mana-mana.

Jeongin menatap jaket itu kembali, “Udah kayak pacaran aja saling sharing barang,”

“Najis,” balas Beomgyu dan di belakangnya Yeonjun hanya mendengus.

“Terus Lo gak mau pulang, nih?”

Beomgyu menggeleng atas pertanyaan Taehyun, “Gue mau battle epep dulu sama ini jamet,”

Taehyun melirik Yeonjun yang kini cuek dengan ponselnya, sepertinya mereka benar-benar akan bermain sebentar lagi. Tidak ada yang salah dengan itu semua dan tidak ada juga yang perlu dicurigai kali ini.

“Oke, kalo gitu gue sama Tyun pulang duluan ya.”

“Huum, hati-hati!”

Mereka berdua melambaikan tangannya dan segera mengangkat kaki dari kelas 12 IPS 2. Keduanya berjalan dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Tetapi ketika sudah sampai di ujung gerbang, tiba-tiba Jeongin teringat akan satu hal dan ia menahan Taehyun sebentar untuk itu.

“Kenapa, Yen?”

“Gue lupa balikin bukunya, tunggu bentar,”

“Oh iya, gue juga lupa ngingetin, yaudah ayo kasih buruan.”

Jeongin mengangguk dan segera kembali berjalan ke kelas dengan sedikit tergesa-gesa. Tetapi belum sempat ia masuk, ia sudah bisa melihat di celah pintu bagaimana keadaan dan posisi Beomgyu yang saat ini sedang duduk di pangkuan Yeonjun sambil ... berciuman.

Kali ini ciuman sungguhan. Bukan sedang bermain game apalagi meniup debu di matanya.

Beomgyu melepas ciumannya sebentar, “Kamu kenapa sih selalu cium aku di keadaan random? Suka ya, kalo yang memicu adrenalin gini?”

“Gak juga, cuma aku kangen aja, kayaknya kita jarang ciuman di sekolah, padahal aku udah kesel banget tiap ada yang ngeliatin kamu terus,”

Yeonjun cemberut dan Beomgyu mencium pipi pemuda itu gemas, “Hehe, tandanya pacarmu ini cakep, eh tapi sayangnya mereka gak tau kalo aku itu pacarmu, hehehe,”

“Aku sebar lagi nih,” Yeonjun pun melirik jaketnya kembali, “kamu juga kenapa gak pake jaket aku terus aja, biar mereka makin curiga,”

Beomgyu memukul Yeonjun pelan, “Ih, kamu mah, udah bagus yang nyadar cuma temen-temenku, gimana kalo temen-temenmu yang sadar itu jaket kesayanganmu dan gak mungkin ketinggalan,”

“Tapi kamu suka kan pake jaketku?”

“Iya sih, tapi aku juga lupa, biasanya cuma kupake pas di rumah kalo lagi kedinginan, tapi waktu itu anak-anak ngajak keluar jadi yaudah,”

“Pake terus. Buat kamu aja, aku beli lagi,”

Beomgyu menggeleng sambil terkekeh geli, “Engga usah, oh iya, kayaknya Mang Dede bakal ngunciin seluruh kelas bentar lagi, kamu abis ini juga ada kumpul buat belajar sama anak Dobleh, kan?”

“Iya, tapi mau lama-lama dulu sama kamu,”

“Lima menit lagi, ayo pulang,”

“Lima menit? Masih ada waktu, ayo buka mulut kamu sekarang.”

Beomgyu pasrah menuruti Yeonjun dan tiba-tiba saja mereka kembali berpagutan semakin dalam dengan tangan Beomgyu yang melingkari leher Yeonjun. Keduanya berciuman mesra seakan tidak ada siapa pun di dunia ini kecuali mereka.

Sementara Jeongin yang masih berada di ambang pintu menutup mulutnya sedari tadi untuk menahan teriak. Ia masih terlalu terkejut untuk bertindak apa pun setelah melihat dan mendengar apa yang baru saja terpampang jelas di depannya.

Akhirnya ia memilih untuk kembali ke Taehyun yang menunggunya dari tadi dengan tanda tanya besar di kepala.

“Kenapa gak jadi?”

Jeongin menggeleng lemas, “Gue ... ternyata lupa bawa bukunya juga.”

Merasa respon Jeongin sangat mengganjal, akhirnya Taehyun ingin ikut melihat apa yang ada di dalam kelas saat ini. Ia sedikit takut jika itu hantu, tapi ia memberanikan diri untuk langsung mengintip dari jendela.

Di sana Taehyun bisa langsung melihat Yeonjun dan Beomgyu yang masih berciuman sambil cekikikan tidak jelas. Ah, ia akhirnya mengerti mengapa reaksi Jeongin seperti itu.

Taehyun pun kembali dengan sama lemas dan terkejutnya seperti Jeongin, kemudian menatap temannya yang juga memberikan tatapan serupa.

“Gimana?”

Taehyun terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Masih begitu ... iya, masih niup debu.” []

© 2021, moawaua.

Akibat Beomgyu yang menghajar Hyunjin sampai ia berniat untuk membalas dendam, maka terpaksa Beomgyu menerima tantangan untuk tanding futsal dengan Dobleh alias geng Yeonjun, musuh sekaligus kekasih rahasianya itu.

Sebenarnya sudah sering sekali mereka melakukan banyak pertandingan, sehingga satu sekolah sudah mengetahui bahwa mereka adalah dua geng yang memang saling bentrok satu sama lain lewat perkara sekecil apa pun.

Ya, hanya itu yang mereka tahu tetapi tidak dengan rahasia di balik semuanya bahwa kedua ketua geng tersebut saling berpacaran diam-diam.

“Lo kalo main jangan pada saling gebuk ye,” ucap Woojin yang sekarang menjadi wasit.

“Bilangin tuh sama temen lo yang baru aja cukur,” balas Taehyun dan melirik Hyunjin yang sudah melotot kesal.

“Ngajak berantem di sini Lo?”

“Kalo iya kenapa?”

Woojin menahan keduanya, “Udeh, udeh, anjinggg udah mau mulai ini,”

Dalam geng Dobleh yang beranggotakan 5 yaitu Soobin, Yeonjun, Hyunjin, Wooyoung dan Woojin, terpaksa hanya menggunakan 4 pemain agar menyesuaikan dengan geng Kawasan Anjing Galak yaitu Beomgyu, Jeongin, Hueningkai dan Taehyun. Mereka tidak terlalu serius mengenai posisi, hanya 3 penyerang, satu kiper, dan satu wasit sudah cukup untuk melaksanakan pertandingan.

“Gak sabar liat muka lo nangis,”

Beomgyu terkekeh mendengar ucapan Yeonjun di depannya. Yeonjunnya yang kini sangat terlihat tampan dengan jersey kelas bernomor 09.

“Semangat banget, emangnya yakin gak mau kalah? Bukannya lebih untung kalo kalah?” bisik Beomgyu.

“Gyu ... jangan mancing ...”

Beomgyu sengaja menggigit bibirnya saat tidak ada siapa pun yang melihat, membuat Yeonjun sangat ingin menubruk dirinya di depan umum kalau saja tidak ingat mereka harus berakting.

Tak lama setelah itu pertandingan di mulai, pertandingan main-main yang tidak sportif dan banyak terjadi kecurangan tentu saja.

Suasana mulai ribut oleh suara penonton dan juga pemain selama berlangsungnya pertandingan. Kadang bola berada di tim Dobleh, tapi karena anak KAG banyak yang lincah bola tersebut juga mudah direbut.

“Kai! Kai! Lo di sebelah sana!” perintah Beomgyu yang ahli membuat strategi.

“Uyong, jegat Beomygyu, Yong!”

“Gue aja yang jegat dia!”

Yeonjun lebih dulu beralih ke arah Beomgyu yang tadinya berniat untuk menerima umpan Jeongin, kini ia tepat berada di depan laki-laki itu untuk menghalanginya.

“Ayen! Ayen! Langsung ke Kai sekarang!” teriak Beomgyu.

Jeongin bingung karena Beomgyu berteriak begitu, tapi setelah melihat keadannya saat ini yang dihalangi Yeonjun, ia mengerti dan menurutinya. Mengoper bola kepada Kai hingga lelaki blasteran itu berhasil menembak ke gawang, menghasilkan satu skor awal untuk tim mereka.

“Mainnya pada curang, yaudah nanti kita gantian aja bales mereka,” kata Kai saat mereka ada jeda permainan setelah mencetak gol, “karena Beomgyu biasa dijegat Yeonjun, yaudah Ayen lo sekarang jegat si Hyunjin juga, biar gue nanti terus yang giring bola ke gawang lawan dan Tyun bisa tenang jaga gawang,”

Beomgyu mengangguk, “Tapi gue juga bakal ngeusahain buat ngelawan Yeonjun, jadi lo jangan takut-takut buat oper bola ke gue kalo gue minta, jangan sampe bengong,”

“Oke siap.”

Awal-awal pertandingan masih terlihat normal untuk mereka semua, kadang Dobleh mencetak gol, kadang KAG. Sampai suatu ketika sudah di akhir-akhir pertandingan yang menentukan siapa yang akan menang, pencegatan Yeonjun semakin membuat Beomgyu susah bergerak. Padahal laki-laki mungil itu sudah sering berhasil menggiring bola sampai ke gawang.

Tapi ia kini benar-benar tidak bisa, karena kini Yeonjun sudah memeluk Beomgyu dari belakang dengan sangat erat. Mencuri kesempatan dalam kesempitan tentu saja.

“Kai lari terus!” teriak Beomgyu.

Hueningkai yang pada saat itu ingin mengoper untuk Beomgyu justru melamun, membuat bolanya lebih dulu diambil Wooyoung. Tadinya ia berpikir untuk menyelamatkan Beomgyu dari Yeonjun terlebih dahulu, karena dua laki-laki itu sangat mencuri perhatiannya saat ini.

Sama halnya dengan Soobin yang ada di depan gawang, ia pun juga ikut melihat ke arah Beomgyu dan Yeonjun yang masih juga seperti berpelukan.

Para pemain lain fokus ke arah Wooyoung yang menggiring bola, tapi di sini Soobin dan Hueningkai tidak.

Hueningkai yang masih berlari-lari kecil melihat bagaimana Beomgyu tengah kesulitan karena dipeluk Yeonjun dari belakang, sementara Soobin yang harusnya juga menjaga gawang, justru jadi tidak fokus karena memerhatikan gerak-gerik mereka berdua.

Tapi bagaimana dengan situasi sebenarnya kedua manusia yang saling berpelukan itu?

“Jun, lepasin atau aku sikut dari belakang, ya?” bisik Beomgyu kesal.

“Gamau,”

Ya. Keduanya asyik dengan dunia mereka sendiri tanpa memerdulikan yang lain.

“Ih, kamu jangan curang! Lepas, ga!?”

“Keringet kamu bau bayi, aku suka,” bisik Yeonjun di tengkuk Beomgyu, sekaligus menyembunyikan wajahnya seperti tidak ada hari esok.

“Ish, si Woojin juga bukannya jadi wasit yang bener malah asik teriak-teriak aja dia, WOY WOOJIN INI TEMEN LO CURANG!!!”

Beomgyu terus meronta-ronta hingga terlepas dari pelukan Yeonjun, tapi itu tidak berlangsung lama ketika Yeonjun kembali menangkapnya ke mana pun ia pergi. Pertandingan futsal yang hanya main-main membuat gerakan mereka berdua tidak terlalu aneh karena keduanya memang sering bertengkar.

Tetapi Soobin dan Hueningkai mulai curiga karena melihat gerak-gerik keduanya ada yang tidak beres, harusnya mereka ikut mengejar bola yang sedang dibawa dan dioper Wooyoung atau Hyunjin, tapi kini keduanya sibuk dengan aksi peluk-pelukan itu.

“Ini apa sih anjir kok mereka bukannya ngejar bola, WOY! YEON- jun ...”

Soobin baru saja ingin meneriaki Yeonjun untuk mencetak gol, tapi apa yang ada di depan matanya membuat ia seketika membeku.

Lebih tepatnya ketika gerakan tangan Yeonjun yang tersembunyi di bawah sana membuat Soobin bahkan Hueningkai terkejut bersamaan.

Ya, tangan nakal Yeonjun yang baru saja meremas bokong Beomgyu dengan cepat, sebelum yang lebih pendek itu menginjak kakinya, membuat pelukan mereka akhirnya terlepas.

Akibat pemandangan kurang ajar itu, Soobin juga tambah tidak fokus karena tiba-tiba saja Beomgyu sudah berhasil menerima bola yang dioper Jeongin dan kini ia berhasil mencetak gol ke gawang Soobin, sekaligus menjadi penentu akhir kemenangan tim di pertandingan kali ini.

“YEAYYY!!! KITA MENANGG!!!”

Beomgyu bersorak senang dan berlari ke arah timnya. Tapi sebelum itu, ia sempat menjulurkan lidah meledek ke arah Yeonjun yang justru tersenyum ... penuh arti?

Entah apa itu yang jelas menurut Soobin, itu bukanlah senyuman yang cocok untuk ditunjukkan ketika timmu kalah dengan musuh terbesarmu.

Soobin masih mematung di depan gawang, ia sadar tidak hanya dirinya yang seperti itu, karena tak jauh darinya ada Hueningkai yang juga masih mematung dengan tatapan bingung.

Tanpa sengaja pun mereka saling lirik seakan berbagi pikiran yang sama tentang kejadian di depan mata mereka barusan.

Bahwa memang ada suatu rahasia di antara ketua geng mereka. []

© 2021, moawaua.

Hari-hari yang terlewati setelah kejadian itu membuat semuanya terasa hampa. Beomgyu benar-benar tidak didekati Yeonjun sama sekali sesuai yang laki-laki itu katakan untuk menjauhinya. Beomgyu tidak pernah mengira perasaan kecewa yang sudah ia usahakan untuk tidak muncul justru datang sendiri akibat kebodohan dan kesalahannya.

Belakangan ini seblaknya kurang enak karena keadaan perasaannya yang tidak baik, warungnya juga jadi sering tutup. Jungkook juga hanya menjaga seblak ketika senggang, karena ia juga punya pekerjaan tetap yang lain, warung seblak CBG memang total milik Beomgyu sendiri.

“Gyu, lo beneran lagi gak jual seblak?” tanya Taehyun, memecahkan lamunannya ketika mereka berjalan ke tempat parkir sekolah. Ya, mereka baru saja memasuki waktu pulang.

“Hm? Iya, Tyun.”

“Kak Jungkook lagi sibuk-sibuknya, ya?”

Beomgyu menjawabnya dengan gumaman kecil karena pikirannya masih berlarian entah kemana. Taehyun yang merasa diabaikan dibuat bingung ketika ia sudah duduk di motornya, Beomgyu masih mematung tidak jelas di sana.

“Gyu? Halo? Ayo, naik.”

Beomgyu memang biasa menumpang dengan teman-temannya terutama Taehyun karena mereka searah. Tapi kali ini Beomgyu menggeleng, membuat pemuda tampan di depannya tambah bingung.

“Aku nganterin kamu aja sampe sini, kamu pulang aja duluan, masih ada hal yang pengen aku urus,”

“Yaudah gua temenin,”

“Eh gausah, udah kamu pulang aja, ya?”

“Beneran?” selidik Taehyun.

“Iya, Tyun ...”

Sepertinya Taehyun juga mengerti bahwa Beomgyu membutuhkan waktu sendiri. Ia pun mengangguk dan akhirnya pergi duluan dengan motornya, meninggalkan Beomgyu yang sendirian ditemani motor-motor di parkiran.

Setelah Taehyun pergi kini Beomgyu melihat ke arah sekitar, membuat memori-memori yang ia rindu mulai naik ke permukaan pikirannya menjadi satu untuk menimbulkan kembali rasa sesak di dada.

Ia mengingat betul Yeonjun sering mengajaknya untuk pulang bersama, melihat Yeonjun mengeluarkan vespa merah aka Mermet kesayangannya dari parkiran dengan senyum semangat saat pulang sekolah.

Sekarang vespa merah itu tidak ada, Yeonjun pasti sudah pulang duluan. Apa sekarang Yeonjun sudah semakin sibuk atau ia memang tidak ingin berlama-lama di sekolahnya?

Bahkan Beomgyu bisa melihat aktivitas baru Yeonjun yang jadi lebih banyak mengabiskan waktu untuk menjelajahi sekolah. Waktu itu ia ikut jadi peran penting di teater sekolah padahal bukan itu ekskulnya, lalu bintang tamu di radio jurnalistik sekolah, kabarnya juga akan tampil bernyayi di pensi sekolahnya yang sebentar lagi tiba.

Mungkin keputusan Yeonjun menjauhi dirinya ini benar. Bukan hanya karena terlalu baik kepada Beomgyu, tapi juga karena Yeonjun terlalu bersinar, sementara Beomgyu hanya akan menjadi bayangan hitam yang memuji dirinya dalam diam.

“Beomgyu? Lo ngapain bengong sendirian di sini?”

Beomgyu tersentak dan menoleh ke arah suara yang ternyata adalah Soobin, temannya sekaligus sahabat dekat Yeonjun.

“Eh, Kak ...”

Seperti tertangkap basah, Beomgyu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain, sementara Soobin sendiri sudah tahu bahwa tadi laki-laki itu baru saja menatap ke tempat di mana biasa Yeonjun memarkirkan Mermet.

“Yeonjun udah pulang duluan, dia akhir-akhir ini sibuk.”

“Aku gak nanya,” Beomgyu menatap Soobin sedikit sinis, membuat yang lebih tinggi terkekeh.

“Bener? Ya, gapapa sih gue juga mau ngasih tau aja, dia akhir-akhir ini juga ikut les private, karena rencananya dia mau ambil kuliah di ...”

Soobin sengaja menggantung ucapannya yang membuat Beomgyu penasaran.

“Di mana?”

Soobin menyeringai, “Nah, kan akhirnya kepo juga,”

“Kak, ih ...”

Beomgyu sedikit memerah karena sudah ketahuan, tapi ia juga sangat ingin tahu Yeonjun ingin kuliah di mana. Siapa tahu itu adalah kampus idamannya dan mereka-

“Luar negeri. Yeonjun mau kuliah di Inggris.”

-akan bisa bersama lagi. Tapi kenyataannya tidak.

“Inggris?”

“Yap, makanya dia ambis banget, selain mau dapet beasiswa karena ini juga keinginan orang tuanya sih, Yeonjun harus dapet negeri kalo engga ya ke luar negeri, tau sendiri Njun berbakti banget sama Babeh dan Enyaknya,”

“Oh ... luar negeri ya,”

Beomgyu menunduk, menatap sepatu Soobin dengan tatapan kosong. Semua terasa sangat tiba-tiba baginya dan ia rasa ia masih belum siap.

Hati hancur yang masih perlu disusun sudah kembali berantakan. Semua sudah di luar kendalinya.

“Gyu, lo gapapa?”

“Hah ... ngga? Gapapa,”

“Bohong, terus kenapa lo nangis?”

Setelah diberitahu seperti itu Beomgyu baru menyadari pipinya basah. Ia segera mengusapnya kasar sambil sedikit terkekeh menyedihkan. Soobin yang melihat itu perlahan memegang kedua bahu Beomgyu dan menatap galaksinya yang tak secerah dulu.

“Gyu, lo suka sama Yeonjun, kan?”

“Apa sih, Kak,” Beomgyu menggeleng dan berusaha menghindari tatapan mata Soobin.

“Gausah denial, mata lo bengkak, seblak lo sering tutup, dan hari ini lo lemes banget, lo nangis dan mikirin dia setiap hari, kan?”

“Engga, Lo kenapa sih, Kak?”

Soobin mendecih, “Gue kenapa? Lo yang kenapa. Mau sampai kapan lari terus, Choi Beomgyu?”

Beomgyu terdiam. Deretan kalimat tanya itu membekukannya. Entah karena ia yang tidak bisa menjawab atau memang pertanyaan Soobin tidak ada jawabannya.

Lari? Apa selama ini Beomgyu benar-benar berlari?

“Lo gak capek, Gyu? Gue yang liat aja capek, bahkan semua orang, emang apa sih yang Lo tahan?”

“Gak ada ...” suara Beomgyu mulai memelan.

“Terus mau apa lagi? Gue kasian sama Yeonjun, biasanya dia bakal jadi pihak yang egois tapi dia kali ini ngehargain keputusan Lo bahkan milih buat berhenti, Lo seneng Gyu liat dia yang sakit?”

“Engga-”

“Engga, engga, tapi itu yang Lo lakuin, gue ini sebagai teman kalian berdua udah gue bilang. Gue gak suka liat kalian saling nyakitin tapi kayaknya di sini yang paling nyakitin itu Lo sendiri, dan Lo gak hanya nyakitin Yeonjun tapi juga diri Lo, Beomgyu.”

Merasa seperti dimarahi, Beomgyu akhirnya tak kuasa menahan tangisannya yang pecah detik itu juga. Soobin panik tentu saja, ia sepertinya sudah melewati batas. Ingin memeluk Beomgyu tapi takut banyak mata yang salah paham, apalagi Yeonjun sendiri. Akhirnya ia hanya menepuk-nepuk kepala Beomgyu pelan, menunggu tangis anak itu sedikit reda.

“Aduh, maaf, maaf, gue cuma kebawa emosi, aduh, jangan nangis Gyu ...”

“Gapapa, Kak Soobin gak salah. Maaf ... bukannya aku gak mau jawab itu semua, tapi aku lagi gak ngerti ...”

Beomgyu mengusap wajahnya asal-asalan, sementara Soobin menghela napasnya pelan, ia sendiri juga bingung tentang perasaan Beomgyu yang tidak jelas ini dan membuatnya sangat geregetan. Ia ingin memberikan Beomgyu waktu, tetapi waktu yang mereka miliki saat ini tidak banyak dan semuanya harus segera diselesaikan.

“Jangan Lo pendem sendirian. Cerita. Sama gue, sama temen-temen Lo, bahkan sama orang tua Lo sekalian. Lo lagi hilang arah, kan?”

Beomgyu mengangguk, “Aku bingung ... aku juga gak ngerti harus gimana, aku takut ngambil langkah yang salah,”

“Terus mau sampai kapan bingungnya? Sampai Yeonjun di luar negeri?”

“Gatau ...”

Beomgyu jujur tidak tahu, ini semua terlalu tiba-tiba seperti yang ia katakan. Ia terlalu takut untuk mengambil langkah yang salah, ia sendiri bahkan tidak mengerti yang hatinya mau. Ia takut semua akan bertambah buruk.

“Gyu, gunain waktu yang tersisa ini sebaik mungkin, kemarin kalian berhenti dengan gak baik-baik, hubungan kalian ini belum tuntas,” Soobin menatap netra Beomgyu penuh harap, “sebelum semuanya terlambat dan berakhir nyesel! Ya, emang sih kita masih SMA, hubungan kayak gini menurut lo gak serius, tapi apa lo gak sayang untuk mengabadikan semua momen bahagia lo sama Yeonjun bakal terus jadi momen bahagia? Kalo lo berakhir kayak gini, semua momen itu bakal jadi kenangan bahagia yang malah bikin lo sedih setiap inget,

“Bahkan gue sekarang sama anak-anak Malih mau ngabisin waktu lebih banyak lagi, sebelum kita bener-bener pisah jadi jarang main karena kondisi yang membuat semuanya berubah. Apa lo gak mau coba berdamai dulu sama Yeonjun?”

Soobin benar. Apa yang dikatakan laki-laki itu sepenuhnya benar. Waktu mereka tidak banyak dan hal-hal yang seperti mengganjal di hati harus dituntaskan dengan segera sebelum semuanya terlambat.

“Gue sebagai temen Lo berdua pasti berharap yang terbaik untuk hubungan kalian. Gue gak minta kalian untuk berakhir jadian tapi seenggaknya damai dulu, ya?”

Tetapi Beomgyu masih belum bisa menjawab pertanyaan Soobin dan berakhir menyuruh laki-laki itu untuk pulang duluan, meninggalkan Beomgyu sendiri di tempat parkir.

Damai, ya?

Beomgyu berjongkok lemas, ia masih bergelut dengan pikirannya sendiri, beruntung tidak ada siapa pun di sana. Ucapan Soobin masih melekat jelas di kepalanya, jujur ia setuju dengan semua ucapan lelaki itu.

Tapi Beomgyu masih buntu, ia masih butuh validasi lain yang bisa memberikan dukungan penuh, terutama soal perasaannya sendiri. Perasaannya yang ingin berlari menjauh tapi juga ingin berlari mengejar Yeonjun.

Ya, sebelum ia berdamai dengan Yeonjun, ia harus sudah bisa berdamai dengan dirinya sendiri. []

© 2022, moawaua.

Tidak ingin apa yang dikatakan Wooyoung dan Soobin terjadi, Yeonjun pun akhirnya tidak bisa menahan diri lagi untuk kembali menemui Beomgyu. Ini sudah seminggu lebih atau kurang ia tidak tahu, yang jelas itu sudah cukup lama untuknya memendam rindu. Dengan vespa merahnya, malam-malam ini ia melesat dengan cepat ke warung seblak CBG.

Yeonjun berniat menyamar, ia datang dan langsung duduk di meja paling belakang seperti biasa dengan tampilan hoodie hitam dan juga kacamata hitam berserta masker hitam. Tapi sialnya ia yang berniat menjadi orang yang diabaikan, justru malah jadi pusat perhatian karena sekarang dirinya terlihat seperti pencuri.

“Gyu, liat deh itu yang baru dateng, kok serem,” Jungkook menyenggol lengan Beomgyu yang sedang meracik minuman.

“Hah? Siapa?”

Mungkin niat Jungkook ingin memperlihatkan sosok orang aneh yang mencurigakan itu untuk membuat Beomgyu waspada, tapi justru ketika melihatnya walau hanya beberapa detik malah membuat napas Beomgyu tercekat.

Ia tahu betul siapa orang itu walau pakaiannya sudah seperti orang aneh, karena memang keanehannya itu lah justru yang menyadarkan Beomgyu.

“Gapapa, itu Kak Yeonjun.”

“Hah? Yeonjun?”

Beomgyu menyerahkan minuman pelanggan lain kepada Jungkook, sementara ia kini mengambil catatan kecil dan pulpen. Ia langsung segera menghampiri Yeonjun, benar saja gelagat laki-laki itu mendadak panik dan sebisa mungkin menutupi wajahnya yang sudah sangat tertutup itu.

“Mau pesan apa, Kak?”

“Ehm, seblak satu,”

“Minumnya?”

“Jus jeruk,”

Beomgyu mengangguk-angguk lagi, “Gak sekalian sama roti bakarnya kayak biasa?”

“Boleh- lho?”

“Ngga usah nyamar juga aku udah tau, Kak Yeonjun.”

Yeonjun terkesiap, ia sudah tertangkap basah, langsung saja ia melepas semua perlengkapannya dengan malu. Pelanggan di sana nyatanya masih memperhatikan dan ikut terkejut ternyata ada sosok tampan di balik tampilan aneh tadi.

“Kok kamu tau?!”

“Satu, ada Mermet di parkiran. Dua, kelakuan aneh Kak Njun juga udah bukan hal biasa lagi, gak inget Kakak pernah juga pakai kostum badut buat pura-pura nyulik aku satu bulan yang lalu?”

Yeonjun mati kutu, ia pun cemberut, “Yaudah iya, Kakak ketauan, Kakak nyerah deh,” matanya pun menatap Beomgyu dengan sejuta kerinduan yang tersirat jelas, “Kakak gak bisa nahan lagi, Kakak kangen sama kamu, Bami.”

Beomgyu menghela napasnya. Jujur dalam hatinya ia senang mendengar pengakuan seperti itu, ia sendiri walau malas mengakuinya juga rindu akan kehadiran Yeonjun, persis seperti prasangka teman-temannya.

Yeonjun, laki-laki itu seperti sudah masuk dalam kehidupan Beomgyu dan menjadi bagian yang penting untuk selalu hadir di pikirannya.

Menghindari kontak mata dengannya, Beomgyu pun pergi sebentar untuk mempersiapkan pesanan milik pemuda itu lalu tak sengaja berpapasan dengan kakaknya yang sudah rapih.

“Kakak pulang dulu, ya. Kamu abis ini langsung tutup aja, Yeonjun pelanggan terakhir pokoknya.” ucap Jungkook, ia juga sengaja mempersilakan waktu untuk mereka berduaan.

“Oh, oke, hati-hati.”

Beomgyu kembali membawa nampan berisikan semangkuk seblak dan jus jeruk, ia memberikannya kepada Yeonjun dan juga ikut duduk untuk kembali menemani kakak kelasnya ini makan.

“Kamu gak sekalian makan juga? Udah mual ya, sama seblak?”

“Engga juga, aku kan makannya dikit dibilang,”

“Yaudah ini makan lagi, mau Kakak suapin?” Yeonjun menyodorkan sendoknya ke depan, tapi segera ia tarik kembali saat melihat wajah datar Beomgyu, “gak jadi, maaf.”

Beomgyu jujur bingung. Ia melihat Yeonjun sudah bisa sesantai ini sementara mereka sudah bertengkar lebih dari seminggu. Laki-laki itu datang dengan gelagat yang sama dan juga terus terang yang sama seperti biasanya.

Apakah Yeonjun benar-benar baik saja setelah ia menyakiti hatinya waktu itu? Apa benar bahwa dia juga laki-laki baik yang tulus dan tidak boleh Beomgyu sia-siakan?

“Kakak kok masih bisa biasa aja, sih?”

Yeonjun menaikkan sebelah alisnya, “Biasa aja gimana?”

“Kak Njun gak marah sama aku karena aku udah nyuruh Kakak berhenti?”

Ya, Beomgyu juga tidak kalah dan sama-sama tetap berterus terang. Ia ingin mengakhiri apa pun yang mengganjal di hatinya dengan segera, ia jujur juga tidak ingin hubungannya dengan Yeonjun berakhir buruk, ia harus memastikan hal itu sekali lagi.

Sementara Yeonjun yang ditanya seperti itu menghentikan acara suap-menyuap seblaknya sejenak, “Ngga, justru Kakak yang kecewa sama diri sendiri, kok bisa-bisanya gak bisa dapetin hati kamu.”

Mendengarnya membuat Beomgyu antara senang dan tidak senang. Jawaban itu sangat Yeonjun sekali, harusnya ia tidak usah bertanya lagi. Beomgyu juga masih mengingat betul kata-kata Yeonjun tentang bukan cinta yang salah melainkan orang yang dicintai.

Apa Yeonjun masih menganggap bahwa dirinya tetap membuat ia bahagia? Apa Yeonjun tetap menganggap bahwa dirinya bukan orang yang salah untuk dicintai?

“Ini udah mau jam 10, kamu udah mau tutup, kan? Yuk, Kakak bantuin cuci semua peralatannya,”

“Eh, Kak-”

“Udah gapapa biar cepet.”

Mereka pun kini mencuci peralatan dan membereskan warung bersama-sama diselingi obrolan-obrolan dan candaan kecil seperti biasa. Beomgyu sesekali melirik Yeonjun yang tetap menunjukkan wajah tenangnya, bahkan sesekali bernyanyi ketika memunguti sampah-sampah di lantai. Ia begitu senang dan damai melihat Yeonjun ada di sisinya seperti ini, sepertinya lebih bagus jika mereka berbaikan dari pada bermusuhan seperti kemarin.

Tapi Beomgyu jadi semakin tidak mengerti perasaan apa yang ada dalam dirinya sekarang terhadap Yeonjun. Apa benar Beomgyu sudah ikut jatuh terhadap segala pesona dan juga kebaikan Yeonjun? Tapi Beomgyu masih terlalu takut untuk menganggap Yeonjun sebaliknya, jika Beomgyu memang baik untuk Yeonjun, apa Yeonjun juga benar-benar baik untuk dirinya?

Haruskah Beomgyu benar-benar percaya bahwa Yeonjun bukanlah orang yang salah untuknya? Haruskah ia menerima Yeonjun dan mengakhiri penderitaan dalam dirinya ini?


“Wow, udah jam 10 lewat, kamu Kakak anterin pulang mau, ya?”

Setelah diam sedari tadi, Beomgyu pun ingin meresponnya. Ia ingin menerima tawaran Yeonjun, tapi dalam lubuk hatinya ada satu hal yang perlu Beomgyu lakukan untuk menemukan jawaban atas segala pertanyaan di benaknya saat ini.

Ia mulai merogoh tasnya, dan kemudian menatap Yeonjun dengan raut panik, “Gembok pintu lipat besi warungnya hilang!”

Yeonjun menoleh cepat, “Hah? Hilang?”

“Iya, yaudah Kak Njun pulang aja duluan, aku bakal cari-”

“Mana ada, Kakak bakal ikut kamu nyari sampai ketemu pokoknya.”

Beomgyu pun terdiam menerima respon begitu. Mereka berdua mulai mencari kunci dan gemboknya di seluruh ruangan, mulai dari kolong-kolong meja dan bangku, dapur, toilet, bahkan tempat sampah.

“Udah Kak Njun, pulang aja, aku bakal minta jemput sama Kak Kookie bentar lagi,”

“Ngga, ngga boleh, kita harus cari sampe dapet, nanti kalo kamu kemalingan gimana?”

Wajah Yeonjun sudah berkeringat mencarinya ke sana ke mari. Ini sudah hampir pukul setengah 12 malam, selama dua jam mereka mencarinya. Padahal Yeonjun bisa saja pulang sedari tadi dan Beomgyu juga bisa saja meminta Jungkook untuk datang membawa kunci cadangan. Tetapi Yeonjun memilih untuk tetap menunggu dan menemaninya, laki-laki itu benar-benar tulus untuk tetap hadir di sini.

Beomgyu sudah tidak menahannya lagi, akhirnya ia kembali bersuara.

“Kak, sebenernya kunci dan gemboknya gak hilang.” jujur Beomgyu, “dua-duanya ada di tasku.”

Yeonjun melongo, “Beneran?”

Beomgyu mengangguk takut, ia bahkan sedikit menundukkan kepala sambil memperlihatkan kunci dan gembok yang ia keluarkan dari tasnya.

“Hahaha, kamu gimana, sih? Tadi gak dicek dulu? Bami ... Bami ...”

Yeonjun justru meloloskan tawa lega sambil mengacak pelan rambutnya. Beomgyu semakin tidak mengerti, ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mengapa laki-laki itu tidak marah? Mengapa Yeonjun tetap ada di sampingnya sampai detik ini?

“Aku cuma mau nguji Kakak lewat hal kecil ... kunci itu gak hilang, tapi ternyata Kakak beneran tetap ada di sini ...”

Yeonjun yang tadinya berwajah lega kini kembali bingung saat ia menatap Beomgyu yang justru menangis. Beomgyu sedang menatapnya pilu, ada apa dengan lelaki manis itu?

“Bami, kamu gapapa? Hey ...”

Yang lebih tua memegang pundak yang lebih muda, sementara Beomgyu tetap menundukkan kepalanya sambil terus menangis.

“Kenapa, Kak? Kenapa Kakak beneran tetep milih ada di sini?” tubuh Beomgyu bergetar karena isak tangis, “Kenapa Kak Njun baik banget sama aku? Padahal aku bohong, aku sengaja mau nguji Kak Yeonjun ...”

“Gyu, gapapa, Kakak ga marah, apa pun alasannya Kakak tetep ingin nemenin kamu sampe sekarang,”

Yeonjun lagi-lagi belum mengerti, membuat Beomgyu kini menatap wajahnya dengan mata yang kian memanas, “Kakak terlalu baik, padahal ucapanku tadi belum tentu bener dan Kakak tetep aja nurutin dan ikut bantuin aku, kenapa Kak? Kenapa?!”

“Gyu ...”

“Kakak selalu bilang aku adalah orang yang gak salah untuk dicintai, tapi apa, Kak? Bukannya aku selalu ngecewain Kak Yeonjun? Kakak gak sedih? Kakak gak marah? Kak Yeonjun kenapa baik banget sama aku yang selalu ngasih harapan palsu ke Kakak?! KENAPA KAK?”

Beomgyu meledak-ledak, dan kini Yeonjun mengerti, ternyata itu maksud Beomgyu sebenarnya selama inj. Yeonjun menghela napas gusar, raut wajahnya kini ikut berubah pilu sambil menatap mata merah Beomgyu yang tak secerah dulu.

“Beomgyu, Kakak khawatir banget sama kamu, ini udah malem. Lagian apa aja juga Kakak turutin demi kamu, ya anggep aja Kakak udah jadi bulol karena kamu,” Yeonjun tersenyum pahit, “tapi Kakak gak nyangka kalo kamu justru malah sedih karena ini, kamu sedih karena kamu gak bisa bales perasaan Kakak, kan?”

Tunggu-

“Kak-”

“Kamu beneran ingin Kakak berhenti?”

Hati Beomgyu dibuat mencelos mendengarnya. Ia menatap Yeonjun yang kini matanya ikut memerah, tapi sepertinya laki-laki itu berusaha keras untuk tidak meloloskan air matanya.

“Oke, Kakak janji Kakak bakal berhenti. Bukannya Kakak udah pernah bilang? Harusnya jatuh cinta sama orang gak salah itu justru yang bikin kita bahagia, tapi justru karena itu Kakak juga jadi egois.” Yeonjun menatap Beomgyu yang sudah kehilangan kata-katanya, “Jatuh cinta yang sesungguhnya itu harus ada dua pihak yang saling mencintai. Kalau cuma Kakak sendiri itu namanya obsesi. Maaf juga ternyata kamu malah yang keliatan menderita sama cinta-cintaan ini.”

“Kak Yeonjun ...”

“Maafin Kakak, Bami. Setelah ini Kakak gak bakal ganggu kamu lagi. Maaf, ya? Kamu pengen Kakak pergi, kan? Tapi sebelum itu izinin Kakak nganter kamu sampe pulang dengan selamat boleh?”

Beomgyu yang sudah tidak tahu harus berbuat apa hanya diam, ia tetap menerima tawaran Yeonjun. Sepanjang perjalanan Beomgyu menangis sambil memeluk tubuh Yeonjun dari belakang, yang entah kenapa ia bisa rasakan bahwa ini kali terakhirnya ia bisa memeluk Yeonjun.

Bahkan saat sudah sampai rumah pun Beomgyu juga belum menakhiri tangisannya. Yeonjun tersenyum tipis dan merasa bersalah. Ia melepaskan helm pada kepala Beomgyu, sama seperti ia memasangkan helm pada Beomgyu untuk pertama kalinya ketika mereka berdua berkencan.

Yeonjun pun menepuk-nepuk pucuk kepala Beomgyu dengan tangannya yang sedikit gemetar.

“Sebelum kamu masuk ke rumah dan Kakak gak pernah liat kamu lagi, boleh gak Kakak ngomong sesuatu untuk terakhir kali?”

Diamnya Beomgyu yang menangis justru membuat hati Yeonjun semakin sakit, tapi mau tak mau ia tetap melanjutkan ucapannya.

“Makasih udah kuat ngadepin Kakak selama ini padahal kamu tersiksa, makasih udah mau jadi bahagianya Kakak walau kamu gak suka, dan makasih udah pernah singgah, walau kamu gak sungguh.”

Kak, jangan-

“Jaga diri kamu baik-baik, ya. Kakak pulang dulu dan doain semoga Kakak cepet move on dari kamu, oke?”

Senyum Yeonjun adalah yang terakhir Beomgyu lihat sebelum ia membalik tubuhnya untuk menangis lebih keras. Yeonjun benar-benar pergi meninggalkan Beomgyu yang kini berjongkok sambil memeluk dirinya sendiri.

“Kak Yeonjun ... padahal bukan itu yang kumaksud, aku ... aku nguji Kakak bukan justru mau ngakhirin ini,” Beomgyu terisak penuh penyesalan, “justru aku lagi memantapkan hati aku untuk milih Kakak jadi orang yang tepat, aku lagi mau buktiin omongan Kak Yeonjun gak salah, jatuh cinta sama orang yang bikin kita bahagia itu gak salah ... Kak Yeonjun juga bukan orang yang salah untuk dicintai ...”

Beomgyu terisak hingga suaranya bergetar dan ia kesulitan bernapas. Semuanya sudah terlambat, semua berantakan, Yeonjun akan berpikir jika sekarang ia mengaku bahwa ia mencintainya, maka Yeonjun akan merasa bahwa ia dikasihani dan dibohongi. Semuanya benar-benar berantakan dan ini karena kesalahan yang baru terlambat ia sadari.

Ya, Beomgyu sudah tidak bisa menyangkal lagi bahwa ia benar-benar sudah jatuh hati pada Yeonjun.

Tetapi sayangnya takdir berkata lain. Di saat Yeonjun sudah berhenti, justru Beomgyu baru ingin memulai. []

© 2021, moawaua.

Sudah lebih dari 3 hari kabar Beomgyu juga belum ada yang Yeonjun tahu satu pun. Semua sosial medianya tidak ada yang aktif. Ingin menanyakan langsung ke rumah, tetapi Hueningkai temannya tak memperbolehkan ia datang ke rumah atau sekadar ke warung seblak CBG.

Yeonjun jujur sangat bingung, tapi ia masih bisa menghargai hal itu dan memberikan waktu Beomgyu sendiri untuk menjawab segala kecemasannya.

Tapi kini kesabaran dan kerinduan Yeonjun seperti sudah tidak bisa ditahan lagi. Pasalnya ia sangat ingin melihat Beomgyu di kelasnya saat jam istirahat, tapi banyak yang bilang anak itu tidak ada di kelas. Ketika di kantin saat ia melihat dan memanggilnya, Beomgyu sama sekali tidak menoleh dan sebaliknya justru berlari menjauh.

Maka dari itu, waktu pulang sekolah adalah yang tepat untuk mereka bertemu dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Beomgyu.

“Bami!”

Beomgyu baru saja keluar kelas bersama 3 temannya, terlihat dari wajahnya yang sangat gelisah ingin melarikan diri tapi sayangnya Yeonjun sudah berhasil mencegatnya terlebih dulu.

“Bam-”

“Tunggu anak yang lain pulang dulu, baru Kakak boleh ngomong.” potongnya cepat yang membuat Yeonjun menurut.

Ketiga temannya Beomgyu berikan tatapan ‘kalian pulang duluan’ yang langsung bisa dimengerti bahwa Beomgyu menginginkan waktu berdua untuk meluruskan hal ini bersama Yeonjun.

Yeonjun dan Beomgyu berdiri di depan pintu kelas 11 IPS 3 dengan Beomgyu yang membuang muka sementara Yeonjun menatapnya penuh bingung, sambil menunggu anak 11 IPS 1 dan 11 IPS 2 juga pulang sehingga di lorong kelas ini hanya tinggal mereka berdua.

Ketika kesempatan itu tiba akhirnya Yeonjun kembali mendekatkan diri pada Beomgyu seraya membuka suaranya.

“Kamu ke mana aja-”

“Bisa langsung ke intinya, gak? Aku mau pulang.”

Nada bicara Beomgyu begitu dingin ketika memotong ucapannya, sampai saat ini Yeonjun masih tidak mengerti apa yang terjadi.

“Kamu marah sama Kakak?”

“Engga,”

“Terus?”

Yeonjun ingin meraih jemari Beomgyu tapi lelaki itu tepis duluan, membuat napas Yeonjun sedikit tercekat.

“Kamu ngehindarin Kakak?”

Akhirnya pertanyaan yang ditunggu-tunggu keluar. Beomgyu pun menatap Yeonjun dengan matanya yang mulai memerah.

“Iya.”

Yeonjun tersentak, “Kenapa?”

“Aku gak mau Kakak salah paham lagi, jadi maaf aku harus bilang ini,” Beomgyu menghela napasnya gusar, ”walau hubungan kita emang belum sama sekali dimulai, tapi aku mau mengakhirinya di sini. Berhenti deketin aku lagi, Kak.”

Mendengar kalimat-kalimat itu keluar dari bibir tipis Beomgyu membuat hati Yeonjun bagai teriris pisau kecil. Ada banyak pertanyaan muncul di kepalanya tentang maksud Beomgyu kali ini yang sama sekali tidak bisa ia terima.

Yeonjun pun langsung berubah pada mode seriusnya yang tak lagi menggunakan panggilan kesayangan untuk Beomgyu.

“Kenapa, Gyu? Kamu kenapa? Aku ada salah? Aku minta maaf kalau aku gak sadar kesalahanku dan aku bakal-”

“Gak ada yang salah dari kita berdua, tapi hubungan ini, Kak!” bentak Beomgyu tak sabar, “Aku gak mau Kak Yeonjun tetap suka sama aku dan berharap aku bakal pacaran dan luluh sama Kak Yeonjun!”

Yeonjun menaikkan alisnya, sepertinya ia mengerti arah pembicaraan Beomgyu walau yang sebenarnya adalah salah besar.

“Kamu gak suka sama aku?” ia tersenyum tipis, “Gak masalah, aku bakal tetep berusaha deketin kamu, Beomgyu.”

Yang lebih muda mendelik kesal, “Tetep suka? Kok maksa?”

“Ya, emang kenapa?”

Beomgyu sangat kesal mendengarnya, Yeonjun benar-benar belum mengerti bahwa ia serius ingin Yeonjun berhenti kali ini

“Aku. Gak suka. Kak Yeonjun. Gak akan suka. Ngerti gak, sih?”

“Ngerti, tapi itu terserah aku mau lanjut suka kamu atau engga, urusan kamu suka sama aku itu cuma bonus,”

Jawaban Yeonjun yang santai semakin membuat Beomgyu marah, “Kenapa? Kenapa suka sama aku?! Cowok dan cewek lain banyak kenapa harus aku?!”

“Ya, aku maunya suka sama kamu, kenapa kamu juga maksa aku harus suka sama orang lain?”

Beomgyu menolehkan kepalanya ke arah lain, tidak berniat menjawab sama sekali sehingga emosi Yeonjun yang dari tadi di tahan ikut terpancing karena tak kunjung diberikan jawaban.

“Choi Beomgyu, aku marah ya, sama kamu. Kamu gak ngehargain usaha aku buat deket sama kamu.” Yeonjun yang tadinya menunduk untuk mendekatkan diri pada Beomgyu pun sekarang berdiri tegak, “Oke. Kalau gitu mulai saat ini aku akan turutin maunya kamu.”

Beomgyu meresponnya dengan tubuh yang menegang tiba-tiba, ia tetap bergeming menunggu ucapan Yeonjun selanjutnya.

“Tapi asal kamu tau, perjuangan aku buat kamu ini emang sia-sia, tapi aku gak nyesel seperti yang aku bilang sebelumnya. Aku. Gak jatuh cinta. Sama orang yang salah.”

Mendengar penekanan di setiap ucapannya membuat Beomgyu akhirnya berani menatap wajah Yeonjun, yang kini justru terukir senyuman tulus tetapi menyiratkan kesedihan.

Dalam sekejap tatapan dan senyum itu ikut berhasil meruntuhkan segala pertahanan agar tidak luluh yang sudah Beomgyu bangun sejak ia mulai menjauhi Yeonjun dari hidupnya.

“Tapi yaudah, kalo kamu sebagai orang yang aku suka udah ngasih keputusan untuk berhenti secara mandiri sebelum aku yang pilih harus tetap mencintai kamu atau nggak,

“Kakak bisa apa, Beomgyu?”

Mata Beomgyu memanas tanpa bisa dicegah, mati-matian ia menahan dirinya untuk tidak menangis, sampai kemudian ia rasakan tangan besar Yeonjun mengusak-usak rambutnya pelan.

“Kakak pulang dulu kalau gitu, kamu hati-hati.”

Ketika Yeonjun akhirnya pergi setelah ia beri luka di hatinya, saat itu juga pertahanan Beomgyu benar-benar hancur dan membaur dengan segala emosinya.

Bayangan Yeonjun sudah hilang, meninggalkan tubuh Beomgyu yang merosot di depan pintu kelas, berjongkok sambil memeluk dirinya sendiri yang kini menangis pilu.

“Maafin aku, Kak Yeonjun ...” []

© 2021, moawaua.

Sudah hampir sebulan lebih Yeonjun dan Beomgyu saling mengenal satu sama lain, dan selama itu pula kedua hubungannya semakin dekat.

Mulai pendekatan dari hal-hal kecil yang dilakukan Yeonjun nyatanya membuat Beomgyu yang cuek lama-lama luluh juga. Seperti ketika dua Minggu lalu di sekolah, saat anak-anak OSIS biasa menawarkan danusan mereka, tiba-tiba Yeonjun ikut membantu walau hanya ingin cari perhatian pada kelas Beomgyu.

“Danusannya, Dek?”

Siapa yang tidak mengenal Yeonjun di sekolah ini kecuali Beomgyu dulu dan orang-orang sejenisnya? Ditawari seperti itu mereka yang satu kelas dengan Beomgyu pasti dengan semangat membelinya.

Tapi perhatian Yeonjun selalu tertuju pada Beomgyu, sambil mengitari bangku kelas, ia menyempatkan dirinya untuk berdiri di samping bangku Beomgyu duduk bersama Jeongin hanya untuk menanyakan satu hal.

“Nanti pulang bareng Kakak lagi, ya?”

Satu kelas tentu mendengarnya, merasa iri dan gemas ketika melihat sinteron sungguhan di depan mereka. Sementara Beomgyu hanya mengangguk sebagai jawaban tapi sudah membuat Yeonjun tersenyum bahagia.

Tak hanya itu, banyak kesempatan-kesempatan yang Yeonjun gunakan untuk bisa menarik perhatian Beomgyu. Mulai dari di kantin, saat upacara, jam kosong, bahkan jam olahraga yang masih ada gurunya.

“Kak Njun, ngapain?!” bisik Beomgyu tidak percaya ketika melihat Yeonjun ikut bergabung di kelas olahraga mereka, bahkan sampai memakai seragam olahraganya juga.

“Sst. Pak Burhan udah kenal sama Kakak jadi pasti gapapa,” ia menarik-turunkan alisnya pada guru olahraga mereka dan Pak Burhan membalasnya dengan acungan jempol.

Hueningkai, Taehyun, dan Jeongin yang menyadari itu sampai menggelengkan kepala mereka karena mereka tahu Yeonjun memang sering nekat. Hal ini sudah seperti gebrakan baru Yeonjun yang biasa mereka maklumi.

“Ngapain ikut kelas olahraga aku? Emangnya Kak Njun lagi gak ada kelas?” Beomgyu menahan tawanya, jujur ia terhibur dengan setiap tingkah yang dilakukan Yeonjun untuk mengikutinya.

“Ada, kelasnya Pak Asep, tapi Kakak izin ke toilet, sama izin tambahannya pengen ketemu kamu,”

“Dih, mana ada izin tambahan gitu,”

Keduanya terkekeh, sampai 15 menit kemudian setelah Yeonjun asyik bermain-main dengan mereka, terlihat Woojin dari lantai 2, di depan kelas 12 IPS 3, tengah memberikan sinyal tanda silang yang membuat Yeonjun panik saat itu juga.

“Bami, waktu Kakak udah abis, Ujin udah ngasih sinyal bahaya,”

Beomgyu ikut panik, “Eh, terus gimana? Ya udah Kak Njun balik cepetan!”

“Kamu gamau bilang semangat atau hati-hati dulu gitu?”

Yeonjun menatapnya penuh harap, Beomgyu pun membalasnya dengan senyuman seraya berbisik.

“Hati-hati, jangan sampe ketauan, nanti gaboleh ketemu aku lagi,”

Yeonjun mendengus senang, “Gak akan.”

Begitu banyak tingkah Yeonjun yang secara terang-terangan mendekati Beomgyu. Satu sekolah tahu mereka sering terlihat bersama mulai di dalam sekolah sampai pulang sekolah bersama dengan vespa milik Yeonjun.

Bahkan di luar waktu sekolah keduanya sering pergi bersama, terlihat dari postingan twitter masing-masing. Membuat siapa pun yang melihatnya pasti bertanya-tanya tentang status mereka berdua.

Beomgyu sendiri tidak pernah mau memikirkan hal itu karena ia hanya ingin berteman dengan Yeonjun, dan ia merasa nyaman dan baik-baik saja soal itu. Sampai ia melupakan fakta bahwa Yeonjun masih terus dan semakin menyukainya tetapi belum juga ia terima sebagai kekasihnya.

Apa aku jahat? Tapi aku juga gak bilang aku ngasih harapan ke Kak Njun, kan?

Menfess terakhir sebulan lalu tentang hubungan mereka berdua membuat Beomgyu masih memikirkannya hingga sekarang.

Haruskah ia menanyakannya pada Yeonjun? Haruskah ia membahas permasalahan ini padanya dengan lebih serius? Haruskah ia perjelas lagi bahwa ia tidak bisa membalas perasaan laki-laki itu?


“Bami!”

Selagi Beomgyu melamun di tempat kasir, ia melihat Yeonjun memanggilnya, tak lupa dengan senyuman hangat yang entah kenapa reflek membuat kedua sudut bibirnya ikut tertarik. Hari ini mereka kembali bertemu seperti biasa di warung seblaknya.

“Seblak lagi?”

Yeonjun menggeleng, “Ngga, Kakak pesen minum sama roti bakar aja, bisa berak-berak nanti kalo kebanyakan seblak,”

Mereka berdua terkekeh. Yeonjun inisiatif pergi ke meja makan, sementara Beomgyu juga langsung menyiapkan pesanannya. Hari ini pelanggan cukup sepi untuk yang makan di tempat, jadi kini hanya ada Yeonjun dan satu orang lainnya di sana.

Suasana sepi tidak akan membuat mereka canggung, karena selama pendekatan hingga saat ini keduanya saling memberikan energi positif yang cocok. Bahkan teman-temannya juga bingung melihat mereka sudah sedekat ini padahal sebelumnya sempat terlibat perselisihan.

Ya, walaupun perselisihan itu jusrtu dalang di balik kedekatan mereka.

“Lagi sepi, Bam?”

Beomgyu mengangguk sambil meletakkan pesanan Yeonjun di depannya, “Sepi yang makan di tempat aja sih, kalo yang pesan antar tetep rame,”

“Gapapa sekali-kali sepi, biar waktu berduaan kita ga diganggu juga,”

“Mulai ...”

Yeonjun tertawa, Beomgyu bahkan sudah sangat terbiasa dengan segala gombalannya. Sudah seperti kebiasaan juga setiap Yeonjun mampir ke warungnya jika ia tidak sibuk, ia akan menemani laki-laki itu makan. Ya, memang Yeonjun juga tujuannya ingin menemui Beogmyu karena rindu.

“Besok mau jalan-jalan lagi, gak? Kayaknya dufan ada promo,” tanya Yeonjun disela-sela suapannya.

“Hm? Boleh, tapi kali ini aku yang bayarin,”

“Kok kamu, kan Kakak yang ngajak,”

“Ih, Kak Njun udah sering, masa aku kalo bayarin cuma jajanan SD atau boba terus,”

“Kamu beli aja makannya, Kakak tiketnya kalo gitu,” final Yeonjun.

Seperti biasa juga Beomgyu menurutinya. Yeonjun terlalu baik untuk ukuran teman, tapi Beomgyu juga tidak ingin berasumsi buruk bahwa segala perbuatan baik Yeonjun karena tetap pada agenda pendekatannya.

Mendadak perasaan Beomgyu cemas, kini ia kembali mengingat menfess terakhir yang dikirim tentang mereka berdua sebulan lalu. Ia tidak tahu apakah Yeonjun sudah membacanya atau belum waktu itu.

Tapi karena hal itu pula, tiba-tiba terlintas suatu pertanyaan mengganjal di pikiran Beomgyu dan ia ingin menanyakannya pada Yeonjun sekarang juga.

“Kak, pernah gak sih takut jatuh cinta?”

Yeonjun menggeleng santai, “Belum? Apa yang ditakutin emang?”

“Oh, belum,”

“Kenapa nanya itu tiba-tiba?”

Beomgyu menghela napas gusar, “Gapapa, pengen tau aja. Soalnya aku gak percaya dan gak mau terlibat sama hal cinta gitu, kayak ... aku gak siap aja kalo jalan kehidupan cintaku gak semulus novel atau drama,”

“Kamu takut?”

“Bisa dibilang begitu, aku ngerasa kalo jatuh cinta cuma bikin aku rugi aja, syukur kalo berjalan baik, kalo berjalan buruk, bakal nyusahin akunya, udah dihancurin, terus disuruh nyusun perasaan dari awal lagi, aku gak suka ... perasaan jatuh cinta itu fatal dan salah untuk hidup aku.”

Mendengar itu membuat Yeonjun meletakkan garpunya, ia menatap netra seindah galaksi itu dengan seksama.

“Bami, perasaan jatuh cinta itu gak salah, melainkan indah. Tapi kalau selama proses mencintai itu kamu cuma dapet penderitaan dan sakit hati, itu tandanya kamu jatuh cinta sama orang yang salah.”

Beomgyu mengerutkan dahinya, “Orang yang salah? Tapi bukannya kita gak bisa nentuin kita bakal jatuh cinta sama siapa?”

“Betul, tapi kamu juga dikasih dua opsi untuk memilih dalam proses mencintai orang itu, yaitu nikmati atau berhenti.” Yeonjun tersenyum tipis sebelum melanjutkan, “kamu bisa berhenti mencintai di awal kamu merasa sakit hati atau sedih, bukan justru kamu maksain untuk terus cinta karena ada harapan yang masih ingin kamu raih. Kita juga gak boleh buta dalam mencintai seseorang, jangan karena dia begini lah, begitu lah, kamu juga harus punya alasan kenapa kamu milih untuk tetap mencintai dia, dan jawaban itu harus yang berdampak positif ke kamu, seperti nyaman, bahagia, motivasi, dan lain-lain,”

“Aku gak ngerti ...”

Raut wajah Beomgyu mendadak bingung, membuat Yeonjun gemas dan segera meraih telapak tangannya untuk ia genggam lembut.

“Contoh mudahnya, seperti Kakak ini. Dulu Kakak anggep rasa ke kamu cuma sekadar suka, tapi ternyata cinta, Bam. Dan jatuh cinta sama kamu cuma bikin Kakak seneng dan nyaman, ngerasa kangen terus pengen ketemu kamu, nyaman saat berduaan sama kamu, bukannya justru menderita. Kakak masih memilih opsi untuk menikmati masa-masa Kakak mencintai kamu karena dampak positif itu, terlepas Kakak juga gatau gimana perasaan kamu ke Kakak.”

“Jatuh cinta ... sama aku?”

Yeonjun tersenyum tulus, “Ya, dan bagi aku juga, kamu itu bukan orang yang salah untuk dicintai, Beomgyu.”

Beomgyu tidak mengerti harus bagaimana ketika mendegarnya. Darahnya seakan berdesir hebat, bahkan jantungnya memompa dua kali lebih cepat dari biasanya.

Senyuman Yeonjun, kalimat yang keluar dari bibirnya, tatapan yang tulus, serta genggaman tangan Yeonjun, semuanya membuat ia membeku di tempat.

Kak Yeonjun? Jatuh cinta sama aku dan bilang kalo aku orang yang pantas untuk dicintai?

Kini napas Beomgyu tercekat, dadanya mendadak sesak. Ada perasaan yang tidak asing dan ingin ia lupakan itu kembali muncul ke permukaan.

Perasaan yang harusnya bisa membuat sensasi kupu-kupu seakan terbang di perutnya, tetapi perasaan itu juga yang seakan menarik kembali Beomgyu ke lubang hitam yang ia takuti.

Perasaan yang sudah ia buang, perasaan yang sudah ia kubur dalam-dalam, perasaan yang ia tolak untuk muncul, perasaan yang ia tidak sukai.

“K-kak, aku pergi dulu, ada hal yang aku urus.”

“Urus a-Bami!”

Beomgyu langsung bangkit dan berlari meninggalkan Yeonjun yang heran melihat kepergiannya. Ia mempercepat langkah untuk ke dapur, bersandar pada tembok dengan napas terengah-engah sambil meletakkan tangannya di atas dada. Merasakan jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia lemas dan jatuh duduk di lantai.

Beomgyu menggeleng pelan, “Ini salah, ini udah salah ...” []

© 2021, moawaua.

Ini bukan pertama kalinya Yeonjun berkencan. Tapi ini pertama kalinya Yeonjun berkencan bersama orang yang benar-benar ia sukai. Biasanya ia akan menjadi pihak yang santai menghadapi hal ini, tetapi rupanya hanya karena seorang Choi Beomgyu ia sudah dibuat cemas dari tadi pagi.

Terlintas pikiran-pikiran aneh bahwa Beomgyu akan bosan dengan kencannya, tetapi sejauh pengalaman Yeonjun, mereka yang berkencan dengannya pasti tersenyum malu-malu sepanjang perjalanan.

Yeonjun menggeleng cepat, “Gak. Gua ngajak Beomgyu jalan bukan justru pengen pamer atau apa pun, gua mau hal ini ngebuat kita berdua nyaman,” ia pun menghela napasnya pasrah, “semoga Beomgyu bukan tipe yang jawabnya terserah.”

Ia berniat untuk mengajak Beomgyu kencan dari sore pukul 5 hingga malam pukul 8, tidak mungkin ia akan mengembalikan Beomgyu di atas pukul 9. Dengan vespa merah kesayangannya yang ia beri nama Mermet, Yeonjun meluncur dengan antusiasme yang tinggi, menghampiri rumah calon kekasihnya itu.

Sesampainya di sana, ada sosok pria yang juga mirip Beomgyu asyik bermain burung berwarna hijau di depan teras. Yeonjun memarkirkan Mermet di depan rumah Beomgyu, walau takut tapi Yeonjun tetap percaya diri. Perlahan ia mendekatinya dan menunduk sopan.

“Sore, Om. Saya Yeonjun, apa Beomgyunya, ada?”

Om Choi melirik Yeonjun, “Yeonjun? Pacarnya Adek? Kok gak bilang-bilang sama saya dia, sini masuk dulu,”

Yeonjun menahan senyumnya ketika disebut seperti itu, “Eh, gapapa Om, ini saya justru mau ngajak Beomgyu keluar, apa boleh Om?”

“Oh ... boleh-boleh, tapi kamu pacarnya bukan, nih? Tumben loh si Adek gak ngasih tau Babanya kalo punya pacar-”

“IHH!! BUKAN PACAR, BABAAA!!!”

Tiba-tiba Beomgyu datang sambil berteriak. Ternyata ia sudah siap dengan tampilannya yang lucu, baju putih panjang dengan lengan yang digulung, celana panjang kotak-kotak santai, tak lupa rambut panjangnya yang baru kering.

“Terus apa dong kalo bukan pacar, masa temenmu? Kan temenmu cuma tiga aja, Taehyun, Kai, sama Jeongin,”

Beomgyu mengerucutkan bibirnya ketika ia berjalan menghampiri Yeonjun, “Emang kenapa kalo nambah satu lagi? Ga enak ih, sama Kak Yeonjun langsung disangka pacar gitu,”

“Saya mah gapapa banget, Om. Tinggal tunggu persetujuan Beomgyu sama restu langsung dari Om aja,” jawab Yeonjun percaya diri.

“Wah, boleh itu, Dek Yeonjun juga ganteng, vespanya mantap, Adek pasti seneng diajak jalan-jalan terus nanti,”

“BABAAAA!”

Wajah Beomgyu memerah kesal dan malu, Yeonjun tak kuasa menahan tawa melihat percakapan lucu dan singkat Beomgyu bersama ayahnya ini.

“Adek cuma mau main sama Kak Yeonjun, udah, ya. Nanti sebelum jam setengah sembilan Adek udah pulang,”

Om Choi mengangguk, “Iya, hati-hati, Dek Yeonjun juga hati-hati, tenang aja walau pun dia berisik tapi makannya dikit kok,”

“Babaaaa!” rengek Beomgyu kesekian kalinya.

“Siap, Ommm! Kita pamit dulu!”

Mereka langsung meluncur dengan Beomgyu yang duduk di belakang tentu saja. Tadi sebelum berangkat ketika Beomgyu asyik berdebat dengan ayahnya, Yeonjun diam-diam ikut memakaikan Beomgyu helm yang dituruti anak itu tanpa sadar.

Padahal kencan mereka belum mulai, tapi Yeonjun sudah ingin mati karena gemas.

“Katanya kamu asli Bandung, kok manggilnya Baba?” ia memulai percakapan ringan mereka di atas vespa merahnya.

“Emangnya ga boleh? Aku Sunda campur Betawi soalnya, makanya pindah ke Depok karena banyak saudara di sini, Kak Yeonjun sendiri manggilnya apa?”

“Babeh dong, Kakak Betawinya kentel walau ada campur Jawa dan Padang dikit,” jawab Yeonjun bangga, “Kamu juga keliatan banget akrab ya sama Babamu, seneng deh liatnya,”

“Baba baik tapi sering iseng, tadi Kak Yeonjun juga kayak keliatan langsung akrab,” Beomgyu terkekeh pelan, “kok bisa sih, Kak?”

“Bisa dong, mengakrabkan diri sama camer, aww- iya becanda,”

Yeonjun kemudian terkekeh geli setelah Beomgyu mencubit pinggangnya.

“Kita mau ke mana?”

“Jalan-jalan dulu aja naik Mermet,”

Beomgyu menyipit heran, “Mermet apa? Duyung?”

“Nama vespa kesayangan Kakak ini, tebak singkatannya apa?”

“Merah jamet?”

“Merah metal atuh, cakep.”

Beomgyu tersenyum geli diam-diam ketika mendengar nada frustasi Yeonjun. Ia menyapu jalan raya dengan pandangannya sambil menerawang tentang satu hari dirinya bersama Yeonjun kali ini.

Beomgyu menatap wajah Yeonjun dari spionnya, “Kak, boleh gak jangan ke kafe di dalam ruangan gitu?”

“Hmm, kalo warung seblak kamu aja gimana?”

“Aku turun sekarang, ya?”

Yeonjun menahan tawanya, “Bercanda, cantik. Karena udah sore, kita ke SD terdeket aja gimana? Kayaknya masih ada yang jualan, kita beli jajanan di sana, kayak cimol, telur gulung, papeda, es teh, dan lain-lain dulu mau?”

“Mau!!!” seru Beomgyu semangat.

“Berang-berang bawa tongkat, berangkaat~”


Beomgyu makin tersenyum antusias, ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa seakrab ini dengan Yeonjun, entah kenapa ia memang merasa nyaman saja berbicara dengan orang ini, mungkin karena kemampuan bergaul Yeonjun?

Beomgyu kini benar-benar bisa percaya bahwa Yeonjun memang orang yang baik, ia tahu itu. Memang benar adanya setiap orang itu tidak boleh dulu mengecap mereka yang tidak-tidak sebelum mengenali langsung dirinya.

Yeonjun juga berpikiran yang sama, sepanjang perjalanan mereka mengobrol dan bercanda dengan tektok yang cocok. Respon Beomgyu sesuai dengan yang diinginkan olehnya, jadi mereka bisa merasakan kenyamanan.

Jika sudah seperti ini juga, Yeonjun jadi semakin yakin bahwa ia memang tidak salah lagi bahwa ia benar-benar menyukai Beomgyu.

“Bami, kamu mau beli apa dulu, Kakak antri telur gulungnya, ya?” Yeonjun menyodorkan uang lima puluh ribu padanya, “Jangan nolak, Kakak yang traktir dan ngajak kamu jalan. Beli apa aja yang kamu mau,”

“Porsinya kita berdua tapi, ya?”

“Iya, kita berdua.”

Yeonjun memandangi wajah Beomgyu yang antusias membeli cimol di sebelah sana, terkadang ia juga terkekeh gemas ketika Beomgyu terlihat kebingungan untuk memberikan uangnya yang sudah terpecah belah. Membuat Abang telur gulung di depan Yeonjun pun menegurnya.

“Sayang banget Mas sama pacarnya?”

Dengan mempertahankan senyumnya, Yeonjun menjawab Abang tersebut, “Baru calon pacar sih, Bang. Cocok gak kita?”

“Banget, Masnya ganteng, itu Adeknya manis. Makin cocok lagi kalo belinya nambah, sih,”

“Gampang itu mah, tambah sepuluh ribu lagi,”

“Siaapp~”

Sudah ada banyak jajanan yang mereka beli, di antaranya ada es teh, mie gaul, cimol, telur gulung, cireng, cilok, dan gulali. Mereka berniat memakannya tak jauh dari SD, berhubung langit juga mau gelap, mereka pun menetap di taman hiburan di sana. Yeonjun sengaja mencari tempat di bawah pohon dekat lampu taman agar lebih terang.

“Kata Baba makannya dikit, gataunya banyak juga,”

“Mumpung gratis,” Beomgyu menjulurkan lidahnya meledek.

Yeonjun mulai memakan telur gulungnya, diikuti Beomgyu yang lebih dulu melahap mie gaulnya. Mereka terdiam beberapa saat dengan hanya sibuk terhadap makanannya masing-masing sebelum akhirnya Yeonjun memulai pembicaraan kembali.

“Kamu sejak kapan bisnis seblak? Kok bisa, sih?”

“Sebenernya iseng aja, aku kan suka banget seblak, di Depok ini seblaknya rata-rata beda racikannya sama yang aku makan, jadi yaudah aku bikin sendiri, terus bagi-bagi tetangga ... Eh, mereka pada suka jadinya disaranin jualan,”

“Itu dari SMP?” Yeonjun diam-diam tersenyum memperhatikan wajah Beomgyu yang serius ketika bercerita.

“Iya, dua tahun lalu, terus jadi lumayan terkenal kayak sekarang, Kak Kookie sering bantu-bantu aku ngurus warung juga kalo dia lagi kerja di rumah,”

“Pantes Uyong bilang kalo seblakmu enak, awalnya Kakak ga percaya, tapi setelah coba ternyata bener enak banget,”

Mendengarnya membuat Beomgyu senang, “Kak Wooyoung, ya? Kayaknya dia emang sering beli soalnya aku gak asing pas waktu itu Kakak nyamperin aku ke stand,”

“Tapi kamu beneran gak kenal kita sama sekali gitu, Bam? Kamu gak kenal Malih?”

“Malih yang temennya Bolot aku tau,”

“Yee becanda,”

Keduanya tertawa dan kembali melahap masing-masing makanannya. Hanya obrolan-obrolan santai seputar Yeonjun yang mencari tahu tentang bagaimana seorang Choi Beomgyu, tapi keduanya tidak merasakan adanya kecanggungan. Yeonjun selalu menemukan topik untuk dibahas, sementara Beomgyu menanggapi dengan jujur yang berujung menimbulkan canda tawa.

Sesekali juga mereka asyik mengambil foto untuk pemandangan langit yang mulai gelap sekaligus diam-diam memfoto satu sama lain. Keduanya sibuk dengan dunia masing, hingga tiba-tiba suara Beomgyu keluar begitu saja untuk membuka pembicaraan baru.

“Sekali lagi makasih ya, Kak.”

“Makasih?” Yeonjun menaikkan alisnya, ingin mendengar lebih.

“Jujur dua kali aku berprasangka buruk sama Kak Yeonjun, tapi ternyata Kakak malah berbanding balik sama pikiran buruk aku.”

“Taunya ganteng dan super idaman?”

Beomgyu melirik sinis, ia menusuk cimol yang ada di plastik, “Bukan gitu, tapi, ya ... Kakak baik dan ramah, enak diajak ngomong, gak nunjukin senioritas, bikin aku gak kesel kalo Kakak deketin,”

“Berarti sebelumnya kamu kesel?”

“Dikit. Segini,” Beomgyu mengisyaratkannya dengan sekecil cimol.

Yeonjun lagi-lagi tersenyum. Ia kemudian mengeluarkan kunciran berwarna hitam yang tanpa aba-aba langsung ia ikatkan pada pucuk rambut Beomgyu. Sang empu rambut awalnya bingung, tapi ia tetap diam menurut dengan wajah sedikit memerah malu.

“Kamu lucu.”

Beomgyu menolehkan kepalanya ke samping, “Ish, tiba-tiba-”

“Kakak suka.”

Kini tubuh Beomgyu yang tadinya santai langsung membeku, akhirnya ia memberanikan diri untuk kembali menatap Yeonjun yang justru menimbulkan debaran aneh di dadanya.

Di bawah langit yang mulai menggelap, Beomgyu menatap Yeonjun yang masih setia tersenyum dengan tatapan tulus selagi embusan angin membelai rambutnya.

“Ih, bercanda mulu,” bantah Beomgyu akhirnya untuk melawan kegugupan, sekaligus mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Kakak serius, Bami.”

Kini tangannya yang bebas dari tusukan cimol diraih Yeonjun dan membuat mata mereka kembali bertemu kesekian kalinya.

“Mungkin kita emang belum ada kenal dua Minggu, tapi Kakak yakin apa yang Kakak rasain ini suka. Kakak suka sama kamu, Beomgyu.”

“Kak-”

“Kamu ... mau jadi pacar Kakak?”

Pertanyaan itu akhirnya dilontarkan begitu saja oleh Yeonjun yang justru membuat Beomgyu berada di puncak bingungnya.

Beomgyu masih belum bisa mencerna hal ini sebaik ia mencerna cimol yang baru saja ia telan. Mata Yeonjun benar-benar mengharapkan sebuah jawaban, apalagi tangannya yang masih digenggam dengan lembut ini.

Tapi, sekali lagi, Beomgyu adalah makhluk paling terus terang dan tidak suka membuat orang lain repot dan merasa digantungi. Ia pun perlahan menarik tangannya dari genggaman Yeonjun, kemudian menggeleng pelan.

“Maaf, Kak. Aku gak bisa.”

Wajah Beomgyu berubah sedih, sementara Yeonjun justru terkekeh.

“Jadi Kakak ditolak, nih?”

“Maaf-”

“Eits, gak usah minta maaf, kamu gak ada salah kok minta maaf, berarti emang Kakaknya yang masih kurang,”

Mendengar itu Beomgyu menaikkan alisnya bingung, “Kurang?”

Yeonjun mengangguk, “Kamu tau gak, kamu orang kedua yang Kakak tembak, Kakak gak pernah pacaran sama sekali kecuali SD,”

“SD? Serius? Bukannya yang deketin Kak Yeonjun banyak banget?” Beomgyu melongo tidak percaya.

“Serius. Ya ... deketin mah emang iya, tapi yang buat Kakak bener-bener merasakan suka dan nyaman kan baru ke kamu aja.” Yeonjun menyeringai tipis, “Ini Kakak baru pertama kali lho ditolak, biasanya Kakak yang nolak mereka baik-baik, haha ... ternyata gini ya rasanya,”

Beomgyu menggigit bibirnya ragu, ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Jujur ia juga banyak yang mendekati, tapi yang berani menembak hanya beberapa dari mereka termasuk Yeonjun. Ia belum berani untuk membuka hati dan merasakan kehidupan percintaan lagi setelah 3 tahun lamanya.

Beomgyu sendiri juga tidak menyangka akan ada momen yang seperti ini, padahal jauh di lubuk hatinya ia ingin berteman dengan Yeonjun karena jujur laki-laki di depannya ini cocok dengannya.

Kini ia hanya berharap jangan sampai karena penolakannya ini justru membuat Yeonjun sedih dan menjauh.

“Kakak marah?” cicit Beomgyu pelan.

“Ngapain marah? Kakak cuma bilang baru ditolak sekali ini sama kamu,” ia menyelesaikan kalimatnya dengan senyuman tipis.

“Berarti aku spesial?”

“Iya dong, makanya Kakak suka.”

Akhirnya Beomgyu ikut terkekeh, ia menatap mata Yeonjun dengan tulus. Ia juga heran mengapa bisa semudah itu Yeonjun menyatakan suka padanya, padahal mereka benar-benar baru kenal, mereka belum mengetahui diri masing-masing, bisa-bisanya ia sangat percaya diri untuk langsung mengajak berpacaran.

“Gapapa juga, anggep aja ini pengalaman. Percobaan pertama masih gagal,” Yeonjun pun mengusap pelan kepala Beomgyu dan menyeringai kecil, “nanti kamu Kakak tembak lagi di waktu yang tepat. Kakak gak mau nyerah lho, ya.”

Sentuhan dan suaranya bagaikan setruman reflek yang membuat darah Beomgyu mendadak berdesir. Ia menatap Yeonjun yang kini tertawa dan meminum es tehnya yang mulai mencair.

“Nanti mamnya jangan diabisin dulu, bisa kita makan sambil ngiter-ngiter jalan naik Mermet, gimana?”

“O-oke,”

“Abis ini kita cari jajanan buat keluargamu, Baba suka apa? Duh, kalo kamu bawa jaket udah Kakak ajak sampe ke Bogor buat beli tales,”

Beomgyu tidak menjawab ocehan Yeonjun setelahnya karena ia masih bergelut dengan pikiran sendiri. Ia pikir mungkin Yeonjun akan sedih atau langsung mengajaknya pulang.

Tetapi nyatanya kini sekarang ia tetap bercerita tentang banyak hal sepanjang mereka asyik memakan jajanannya di jalan. Mulai dari masalah sekolah, anak Malih, bahkan asal-usul mengapa Yeonjun suka sekali menggunakan typing jamet.

Beomgyu tidak habis pikir dengan apa yang ada di pikiran Yeonjun. Apa ia memang seperti ini? Apa benar rasa sukanya pada Beomgyu tidak sekadar main-main? Bagaimana bisa Yeonjun terlihat santai? Apa patah hati setelah ditolak tidak cukup menyakitinya? Karena ia sendiri sulit untuk menyembuhkan hal semacam itu.

Begitu banyak pertanyaan dalam kepalanya sekarang. Tapi apa pun jawabannya nanti, jujur Beomgyu senang karena nyatanya Yeonjun masih mau mengakrabkan diri dengannya.

Ia juga menyukai fakta bahwa Yeonjun memang nyaman dengannya, sebagaimana ia juga nyaman berada di dekat Yeonjun. Mungkin mereka benar-benar bisa menjalani hubungan yang baik dengan hanya seperti ini, entah hanya sekadar kenalan, teman iseng, hubungan antara kakak kelas dan adik kelas, atau yang lainnya.

Ya, bagi Beomgyu hubungan apa pun itu namanya sudah lebih dari cukup untuk sekarang. []

© 2021, moawaua.

Entah mengapa hari-hari berjalan lebih lambat dari biasanya bagi Beomgyu karena hari ini baru ke-4 ia mendirikan stand classmeet, ia pikir sudah mau selesai agar ia bisa ikut bersenang-senang. Mungkin itu juga alasannya mengapa hari berjalan lambat, Beomgyu mengharapkan classmeet berakhir secepatnya.

“Tyun, tolong itu langsung aja styrofoamnya dibarisin jadi lima ya,”

“Oke, Gyu.”

Beomgyu juga jadi kurang semangat untuk beraktivitas seperti biasa. Beruntung teman-teman setianya ini bersedia untuk membantu, kalau tidak ada mereka mungkin Beomgyu sudah sangat kewalahan.

Apalagi karena seblaknya yang semakin terkenal ini membuat orang-orang bergantian untuk mengantri, yang tadinya Beomgyu hanya menyediakan untuk yang gratis, justru mereka ada yang bersedia membayar untuk mendapat antrian lebih dulu.

“Dek, gue seblak dua mangkok, ya, pedes semua topping bebas,”

“Oh, oke.”

Beomgyu langsung memasak lagi, tapi pikirannya masih terpecah belah semenjak kejadian kemarin. Memang benar Beomgyu sudah memblock twitter dan juga iMessage Yeonjun, tetapi Beomgyu tidak menyamaratakan untuk seluruh akunnya. Oleh karena itu kemarin ia sendiri melihat Yeonjun memposting fotonya, bahkan memarah-marahi oknum yang memfitnahnya.

“Ini, Kak. Seblaknya.”

“Oke, makasih.”

Tentu saja ini semua karena masalah menfess waktu itu. Beomgyu masih tidak terima difitnah memelet Yeonjun. Apa-apaan itu? Dari seluruh hal di dunia ini mengapa ia harus melakukan hal memalukan seperti pelet?

Stress, tidak masuk akal. Ia juga masih berpikir negatif bahwa itu juga perbuatan Yeonjun yang ingin menjatuhkannya, tapi ternyata apa yang laki-laki itu lakukan kemarin juga membuat Beomgyu berpikir dua kali.

UEKK! KOK ASIN BANGET LO KASIH APAAN INI?!”

Bentakan yang ia terima dari kakak kelas tadi membuat Beomgyu tersentak dari lamunannya. Jeongin lantas mendekat ke arah Beomgyu untuk menemaninya, begitupula Hueningkai dan Taehyun yang juga ikut penasaran.

“Maksudnya, Kak?” tanya Jeongin sopan.

“Lo mau bikin gue muntah di sini? Seblak apa air laut anjrit asin banget, becanda lo?!”

Hueningkai melirik ke arah bumbu-bumbu yang tadi dipakai Beomgyu, lalu ia melihat ke arah kotak menaruh garam. Benar saja takarannya menjadi lebih sedikit dibanding gula dan mecin.

Ia pun berbisik pada Beomgyu, berupaya menenangkannya, “Kamu salah Gyu, kamu banyak masukin garem, lagi gak fokus, ya?”

Mendengar itu wajah Beomgyu memucat. Sial, kini ia mengacaukan semuanya. Tatapan kedua orang yang tadi memakan seblak asinnya masih marah, kemudian orang-orang yang ada di sana ikut mendengar keributan itu dan mereka semua mulai membentuk kerumunan, seolah-olah memojokkan Beomgyu saat ini.

“Kak jadi-”

“Jangan, Tyun. Gapapa, biar aku aja yang jujur sama mereka.”

Taehyun memandang Beomgyu yang tersenyum tipis, ia bisa melihat raut panik di wajahnya.

Beomgyu mengambil napas pelan, ia siap dengan hujatan yang akan diterimanya setelah ini.

“Sebelumnya maaf-”

“Ada apaan nih rame-rame?”

Tapi belum sempat ucapannya selesai, seketika sudah dipotong duluan oleh suara yang kini tidak lagi asing untuknya. Sekumpulan orang-orang dengan wajah tampan tiba-tiba muncul dari balik kerumunan dan berhasil masuk ke bagian depan, mereka adalah Malih.

Kini Beomgyu hanya semakin menundukkan kepalanya karena tidak ingin bertatapan dengan Yeonjun yang kini pasti akan benar-benar bertindak untuk ikut menghinanya.

“Kenapa, ngab?” tanya Woojin pada orang yang tadi membentak Beomgyu.

“Dia kayaknya mau ngerjain gue,”

Woojin mengernyit heran, “Ngerjain?”

“Ini dia yang juga nyari masalah sama Lo itu, kan, Jun? Yang katanya berani call out Lo dan melet Lo juga,”

Yeonjun yang dikata seperti itu menaikkan sebelah alisnya, “Bukannya gue udah gua udah bilang gua gak dipelet sama sekali?”

“Ck, ya apa pun itu yang jelas sekarang dia ngerjain gue, seblaknya asin banget, bangsat!”

Yeonjun menatap seblak Beomgyu dan juga pembuatnya bergantian, kemudian ia tersenyum tipis, “Asin? Yakin, Lo?”

Wajah Beomgyu semakin pucat, bahkan ia sudah keringat dingin, sepertinya ia akan pingsan di tempat. Ia menundukkan kepalanya, hanya menunggu beberapa detik lagi untuk melihat Yeonjun yang mungkin akan segera ikut memaki-maki dirinya.

“Eh, Jun! Lo ngapain?!”

Kemudian suara bisik-bisik dan juga orang yang terkejut kembali terdengar. Beomgyu memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya dan alangkah terkejutnya ia melihat Yeonjun sedang berusaha menghabiskan kedua mangkuk seblak yang sudah pasti sangat asin dan tidak enak buatannya itu.

The power of bucin.” bisik Wooyoung.

The power of bulol alias bucin tolol.” koreksi Soobin.

Dalam hitungan menit dua mangkuk seblak itu habis dilahap Yeonjun yang kini sekarang menatap aneh pada kedua pembelinya.

“Lu bilang ini asin? Ini enak anjir, gila lu.” Yeonjun menyerahkan dua mangkok kosong itu kepada mereka, “Liat nih, seblaknya sampe gua abisin, padahal tadi gua mau ngantri tapi gajadi gara-gara makan seblak lu,”

“Jun-”

“Iye, iye, nih duit lu gua ganti, beli lagi yak maap gua selak.”

Dua pemuda itu ingin membantah lagi tapi segera ditahan Hyunjin dan Woojin hanya dengan sentuhan erat di atas pundak mereka, pertanda untuk diam. Kini Yeonjun menyisir rambutnya ke belakang mengenakan jari, lalu menatap ke arah mereka semua yang masih membisu.

“Lah ini ngapa malah dijadiin tontonan? Udah sana dukung tuh yang lagi mau tarik tambang! Bubar, bubar, lu semua!”

Woojin pun mengikuti arahan Yeonjun dan ikut bersuara, “Yok, bubar, yokk!”

Setelah diteriaki seperti itu mereka pun mulai membubarkan diri dan kembali ke tempat masing-masing, sedangkan Beomgyu masih diam di tempat tidak bersuara, tidak pula bergerak seinci.

Bahkan ketika Yeonjun mendekat dan berbisik pelan di telinganya, ia tidak sanggup membalas walau hanya sepatah kata pun.

“Bilang makasihnya nanti aja, kamu pucet banget. Abis ini harus ke UKS dan stirahat yang banyak, ya, Bami.”

Yeonjun pun mengacak pelan rambut Beomgyu sebelum ia bersama teman-temannya pergi meninggalkan mereka.

Tapi diperlakukan seperti itu Beomgyu bukannya bergerak, ia malah tambah membeku.

Padahal hanya rambutnya yang diacak-acak, tapi mengapa pula hatinya ikut berantakan? []

© 2021, moawaua.

Hari yang ditunggu pun tiba, setelah anak SMAN 304 melakukan ulangan semester ganjil, maka sekolah memperbolehkan OSIS untuk menggerakkan acara classmeet untuk murid-muridnya. Classmeet diadakan dan bertujuan menjadi ajang apresiasi dengan mengadakan lomba sekaligus hiburan untuk mereka yang sedang menunggu jadwal liburan siap.

“Eh! Eh! Ini udah siapa yang mau main?”

“Kayaknya anak futsal kelas 10 dulu gak sih,”

“Aduh, gue pengennya kelas 12, mau ngeliat Kak Yeonjun katanya doi mainnya bakal pagi?”

“Ya sama, mau liat anak-anak Malih main, kapan lagi tontonan cakep gratis, hehehe,”

Hueningkai yang mendengar bisik-bisik tersebut lantas segera menghampiri sahabatnya yang asyik meracik seblak, siapa lagi kalau bukan Beomgyu yang sudah semangat membuat seblak untuk hidangan mereka semua.

“Gyu, itu kamu denger sendiri, kan? Malih tuh terkenal banget anjir, kamu sendiri ketemu sama Kak Yeonjun kemarin, gimana kalo nanti kamu disamperin lagi, ngakak hahaha,”

Beomgyu mengangkat bahunya acuh, “Terserah, kita juga udah damai kayaknya, aku mau fokus bikin seblak aja, tapi aku utamain untuk anak-anak yang abis tanding.”

“Kita gak kebagian, nih? Kan udah ikut bantuin?”

Suara Taehyun tiba-tiba muncul, ia baru saja tiba bersama Jeongin membawa styrofoam. Beomgyu tersenyum manis menatap mereka sambil mengacungkan jempolnya.

“Tenang, Bos! Orang dalem pasti kebagian~”

“Kalo kita orang dalem juga bukan, nih?”

Kini suara asing yang muncul dari arah depan. Reflek Jeongin, Hueningkai, dan Taehyun mundur dan berdiri di belakang Beomgyu bersama peralatan masaknya. Sang pemilik warung CBG lantas ikut menoleh untuk melihat siapa sang oknum, seketika tatapannya menjadi malas karena langsung bertemu dengan wajah Yeonjun yang tersenyum cerah padanya.

“Hai, Dik Bami, gimana jualan seblaknya, aman?”

“Jangan pake dak, dik, dak, dik, kan langsung aja Beomgyu kataku.”

“Oke siap, Dik Bami. Jadi seblak kamu udah bisa dipesen dari sekarang belum? Kakak Njun mau sarapan,”

Nyatanya ucapan Beomgyu tidak didengar, Yeonjun lebih fokus menatap wajan di depannya yang masih kosong. Anak-anak Malih di belakang Yeonjun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menatap temannya yang sedang menjalani PDKT ini.

“Seblak-seblak pertama cuma diprioritasin buat yang tanding,”

“Kita juga tanding kok bentar lagi abis anak kelas 10 kelar, tapi emang sekarang si Yeonjun aja ini yang kelaperan minta makan,” sahut Wooyoung, yang sepertinya Beomgyu sedikit mengenal wajahnya karena beberapa kali pernah membelik seblak di warung CBG.

“Lagian emang bukannya kewajiban Beomgyu yang ngasih Yeonjun sarapan? Kan bentar lagi siap jadi calon suami,”

“Ah, bisa aja lu, Jin.”

Ketiga teman Beomgyu saling menahan tawa mereka melihat betapa menyebalkannya candaan Yeonjun dan Woojin yang sekarang saling cengegesan tidak tahu malu. Beomgyu hanya menatap keduanya datar, ia pun melihat ke arah sekeliling yang mendadak ikut ramai. Ia pikir mereka ingin ikut mengantri seblak, tapi sepertinya karena ingin melihat anak Malih ini.

“Cepet mau pesen apa? Tapi kalo makannya sekarang, nanti abis tanding gak dikasih lagi,”

“Iya, cakep, gapapa.” Beomgyu sedikit tersentak dipuji begitu, sementara Yeonjun tersenyum puas, “Mau pesen seblak yang level 2 aja masih pagi takut meledug, terus toppingnya pake telor, mie, batagor lidah, kwetiau-”

“Kwetiau ga ada.” potong Beomgyu cepat.

“Oh ... terus adanya apaan aja?”

“Kerupuk, mie, bakso, makaroni, otak-otak, mie, cuanki, siomay, batagor lidah, telor, bakso.” Beomgyu mendengus sabar, “Jadi mau yang mana?”

“Emm ... yaudah kerupuk, batogor lidah, siomay, cuanki, otak-otak, kwetiau-”

“Kwetiau ga ada anjir, Kak. Kan tadi udah dibilang,”

Anak Malih dan Seblakers lantas tertawa, sementara Beomgyu di sini tertekan sendirian menghadapi makhluk seperti Yeonjun. Apalagi oknum itu sendiri tetap dengan fokus menatap ke arah topping-topping di depannya.

“Kwetiau yang masih keras juga gapapa direbus dulu deh,”

“Ya Allah, mau bangkrut aja saya mah,”

Beomgyu pasrah, sementara Yeonjun akhirnya ikut tertawa geli karena berhasil membuat sosok manis di depannya frustasi. Ia pun berdiri di samping Beomgyu tiba-tiba yang membuat empu stand sedikit bingung.

“Kakak mau bantuin kamu masak, boleh? Toppingnya nanti Kakak yang masukin sendiri deh,”

“Y-ya, terserah,”

Selagi Beomgyu mulai asyik meracik seblak di pagi hari pukul 8 ini, Yeonjun segera memberi isyarat pada Hyunjin dan Woojin untuk segera mendokumentasikan dirinya dan Beomgyu yang sedang memasak. Dua sejoli itu mengacungkan jempolnya dan masing-masing siap dengan ponsel tersembunyi mereka.

“Liat deh kelakuan anak Malih gajelas semua, ini kita bantuin Gyu apa gimana?” bisik Hueningkai pada dua temannya.

Taehyun menggeleng pelan, “Selagi Gyu belum ngasih sinyal minta tolong, kita diemin aja mereka mesra-mesraan.”

Jeongin mengangguk menyetujui, sebenarnya selagi Beomgyu dan Yeonjun asyik menjadi pusat perhatian, itu akan semakin mempermudahnya untuk menatap Hyunjin sambil tersenyum diam-diam juga.

Yang lebih tua pun memulai basa-basinya, “Jadi Adek mau dibantuin apa sama Kakak?”

“Tunggu Adek bikin bumbunya larut dulu, nanti Kakak baru boleh masukin topping- maaf, maksudnya tunggu aku kasih intruksi dulu,”

Wajah Beomgyu mendadak merah karena ia terbawa suasana jadi ikut memanggil dirinya ‘Adek’. Rasanya ia benar-benar ingin memasukkan kepalanya sendiri ke dalam wajan saat ini juga. Sementara Yeonjun juga ikut memerah dan menutup setengah wajahnya memakai telapak tangan.

“Orgil kegirangan noh,” bisik Soobin.

Zoom, zoom, mukanya kayak nahan berak,” timpal Wooyoung.

Keempatnya terkikik geli kemudian. Acara masak-masak itu masih berjalan lancar yang tanpa disadari benar-benar menjadi tontonan untuk warga sekolah sekitar. Beomgyu sendiri tipe yang cuek dalam hal ini, jadi ia tidak terlalu sadar dan menganggap Yeonjun dan sekelilingnya bukan penganggu.

“Kakak masukin, ya?”

Beomgyu mengangguk, kemudian setelah menunggu beberapa menit toppingnya melunak, Beomgyu pun mengaduknya dan mengambil satu sendok untuk ia berikan pada Yeonjun.

“Mau dicobain dulu?”

Yeonjun mengerjap tidak percaya, “Bo-boleh?”

“Iya ini, rasanya udah pas apa belum?”

Tanpa pikir panjang lagi Yeonjun menerima suapan Beomgyu. Suap-suapan itu benar-benar disaksikan satu lapangan sekolah ini. Kemudian Yeonjun kini mengacungkan jempolnya pada Beomgyu bahwa rasanya sudah pas. Beomgyu hanya mengangguk kecil, sedikit bingung padahal ia hanya memberikan setengah sendok sambal. Lalu mengapa wajah Yeonjun sudah semerah itu?

Selagi mereka asyik bersenang-senang memasak seblak, tanpa sadar ada beberapa bisik-bisik dalam perkumpulan murid yang kini menatap Beomgyu sinis sambil menangkap beberapa gambar foto dirinya dengan Yeonjun sedari tadi.


Ini kedua kalinya bagi Yeonjun untuk merasakan kenikmatan seblak Beomgyu. Bukan karena memang itu buatan si manis, tapi jujur memang racikannya berbeda dari seblak-seblak yang ia makan sebelumnya.

“Jun, makannya cepetan, ini lu gak boleh kekenyangan banget nanti muntah pas lagi maen gimana, jir?”

Yeonjun menyahuti pertanyaan Wooyoung sambil menunjukkan styrofoamnya, “Selow, cug. Nih, udah abis.”

Yeonjun ingin kembali berterima kasih pada Beomgyu, tapi sekarang anak itu sedang sibuk meracik seblaknya untuk para pemain yang tadi baru tanding. Karena tidak ingin mengganggunya lagi, Yeonjun pun segera menyusul anak Malih ke kelas untuk mengganti seragamnya dengan Jersey kelas.

“Kayaknya gua mau ngelakuin sesuatu yang keren bentar lagi,” ucap Yeonjun tiba-tiba ketika selesai memakai sepatu futsalnya.

Woojin menyipit tak senang, “Maksud Lu?”

“Kayaknya lawan kita bukan kelas yang susah, kan? Nanti lu oper banyak bolanya ke gua yak.”

“Wah, paham nih gua,” timpal Hyunjin dari belakang yang juga sudah siap dengan headbandnya.

Yeonjun hanya menunjukkan senyum percaya diri. Serempak anak Malih ikut menjadi perwakilan kelas untuk tanding futsal di classmeet seperti biasanya. Kadang tidak hanya futsal tapi hampir semua jenis pertandingan seperti basket, tarik tambang, voli, dan lain-lain.

Ketika mereka turun dari lantai atas, sudah banyak mata memandang dengan takjub bahkan mereka juga sadar sudah banyak yang memfoto diam-diam.

“Gyu! Gyu! Noh, Kak Yeonjun udah mau main! Ayen itu juga ada Kak Hyunjin!”

Hueningkai menyenggol kedua temannya itu. Jeongin menatap Hyunjin terpesona, sementara Beomgyu hanya menanggapinya dengan bingung.

“Terus kenapa?” balasnya cuek.

“Ya, gapapa, liat aja itu, nah! Nah! Tuh liat Kak Yeonjun ngeliatin kamu!”

Benar saja ketika Beomgyu tidak sengaja menoleh ke arah Yeonjun, tatapan mereka langsung bertabrakan. Saat itu juga Yeonjun menyunggingkan senyum manis andalannya yang membuat Beomgyu sedikit salah tingkah dan segera menatap ke arah lain.

“CIEEE, ganteng, kan? Ganteng, kan?”

“Apa sih, Kayii,”

Beomgyu menggeleng dan langsung pura-pura menyibukkan diri dengan membersihkan noda-noda pada kompor dan mejanya.

Pertandingan antara kelas 12 IPS 3 melawan 11 IPA 2 berjalan dengan lancar. Beomgyu terlalu sibuk dengan dunianya sejak dulu, sampai-sampai ia memang tidak terlalu mengenal orang-orang di sekolahnya bahkan yang sudah terkenal seperti Malih sekali pun. Ia jujur baru mengetahui mereka saat kemarin-kemarin ini.

Beomgyu akui juga ternyata Yeonjun dan anak Malih memang keren saat bertanding. Kalau ia tidak berjualan seblak mungkin ia juga jadi perwakilan untuk ikut tanding futsal kelasnya, lalu ada kesempatan juga untuk melawan dengan kelas Yeonjun.

Tapi setelah itu mungkin mereka akan kembali bertengkar jika kelas Yeonjun kalah, dan warung seblak Beomgyu akan diacak-acak sebagai gantinya.

“Duh, mikir apa sih,” Beomgyu menggeleng-gelengkan kepalanya, ia pun fokus kembali pada pertandingan.

Sudah memasuki babak 2, skor saat ini 03-06 dengan 12 IPS 3 yang lebih unggul. Waktu tanding pun hanya tersisa tinggal beberapa menit lagi, sudah bisa dipastikan kelas anak Malih yang menang.

Tapi sebelum waktu itu berakhir, Yeonjun yang sedang berlari-lari mendekati area lawan pun memberikan sinyal tangan pada Woojin yang sedang menggiring bolanya.

Saat itu juga Yeonjun menatap Beomgyu sambil menunjuk tepat ke arahnya.

“BEOMGYU! YANG TERAKHIR INI BUAT KAMU!”

Satu lapangan berteriak sementara Beomgyu membeku. Mendengar itu Woojin reflek menyeringai dan tanpa pikir panjang mengoper ke arah Yeonjun yang langsung menendang bolanya hingga masuk ke gawang lawan.

“GOLLL!!!!”

Sorakan kemenangan dan juga peluit wasit bersautan menandakan berakhirnya pertandingan yang dimenangkan kelas 12 IPS 3 dengan skor akhir 03-07. Anak Malih bersama tim kelas pun saling berpelukan dan melakukan jargon mereka.

Sementara Beomgyu yang masih membeku di tempatnya tetap jadi pusat perhatian beberapa orang, karena saat ini laki-laki manis itu asyik digoda oleh teman-teman di sekitarnya yang membuat wajah Beomgyu memerah.

“Aduh, gila aku kayak ada di dunia wattpad ape ye,” usil Hueningkai.

“Bukan lagi. Gyu, siap-siap aja bentar lagi lu ditembak kayaknya,” tambah Taehyun.

“Ih, apa sih, udah ah ga usah diomongin, orang aneh gitu,”

Jeongin ikut menyenggol bahunya, “Tuh liat, Kak Yeonjun malah masih curi-curi pandang sama kamu, cie ...”

Beomgyu langsung pura-pura fokus lagi dengan hal lain padahal wajah sampai telinganya memerah malu. Baru pertama kali dalam seumur hidup ia diperlakukan seperti itu oleh seseorang, dan Beomgyu akui ia sedikit merasa senang entah karena apa, menyebabkan ia juga jadi tersenyum-senyum tidak jelas dalam diam ini.

Beberapa orang dari kerumunan pun ternyata masih ada yang memperhatikan Beomgyu sambil mendecih kesal. Ponsel yang ada di tangannya pun mengarah pada aplikasi galeri yang memperlihatkan foto-foto saat Beomgyu bersama Yeonjun di stand seblaknya itu.

“Gue gak tahan, spill gak, nih?”

“Harus!!!” []

© 2021, moawaua.

Menarik napas dalam-dalam, Yeonjun siap melangkahkan kakinya menuju bangku dan meja makan yang telah disediakan di depan warung CBG yang cukup luas ini. Sebenarnya hanya namanya yang Warung Seblak CBG, padahal aslinya tempat makan normal seperti yang lain.

Ketika Yeonjun datang memang sudah hampir sepi, karena sengaja ia ingin bertemu Beomgyu ketika anak manis itu sedang tidak sibuk. Maka di sinilah ia sekarang, berdiri dengan senyum terbaiknya di hadapan kasir bernama Jungkook yang ia lihat dari tanda pengenalnya. Sepertinya dia kakaknya Beomgyu karena mereka terlihat serupa.

“Ehm, misi, Kak. Mau pesen seblak,”

Jungkook menatap mata Yeonjun yang justru sekarang seperti mencari-cari sesuatu di belakangnya, “Ya? Pesen berapa?”

“Pesen dua, yang satu makan di sini, satu lagi nanti dibungkus,”

“Oke,”

Yeonjun pun bertanya, “Kak, maaf. Kalo cowok yang satu lagi mana, ya? Yang rambutnya agak panjang?”

“Di belakang, dia bagian nganterin seblaknya, kenapa?”

“Eh? Gapapa,”

Mata Jungkook menyipit curiga, sementara Yeonjun hanya tersenyum lebar sambil tetap menggelengkan kepalanya.

“Atas nama siapa, Mas?”

Kemudian saat ditanya seperti itu Yeonjun mendapatkan ide cemerlangnya. Menjawab pertanyaan Jungkook dengan antusias sementara sang kasir hanya menatapnya bingung tidak percaya tapi tetap mengiyakan apa yang dikatakannya.

“Oke, silakan tunggu di bangku mana aja, seblaknya sebentar lagi siap, terima kasih.”

Ketika Yeonjun memilih tempat duduknya, saat itu juga Beomgyu datang dari belakang dengan tampilan yang makin membuat Yeonjun terpesona. Rambutnya yang diiikat asal acak-acakan, apron hitamnya, bahkan wajah lelahnya yang tetap cantik saat sedang berbicara dengan Jungkook. Yeonjun benar-benar seperti tersihir oleh apa saja yang dilakukan Choi Beomgyu.

“Nih, tolong anterin lagi,”

“Oh, oke-HAH apaan sih namanya?”

Jungkook mengangkat bahu tidak peduli, “Udah cepetan teriak aja, daripada dia ngamuk, gapapa kok orangnya ganteng beneran, hehehe,”

Beomgyu kesal, baru pertama kali ia mendapat nama aneh dari pelanggan di sini. Tetapi karena tidak ingin menghambat pekerjaannya, ia lebih memilih untuk langsung berteriak dan menemukan siapa sosok di balik nama yang ia panggil setelah ini.

“JODOHKU? ATAS NAMA JODOHKU?”

Karena warung sedang sepi, maka Beomgyu langsung menjadi pusat perhatian. Uh, ingin melarikan diri saja ia rasanya. Sementara sosok di pojok ruangan tengah tersenyum idiot dan dengan percaya diri segera mengangkat tangannya.

“DI SINI, JODOHMU ADA DI SINI!”

Satu warung hampir tertawa semua, wajah Beomgyu sontak memerah, apalagi yang menyahutinya merupakan sosok Choi Yeonjun, orang yang baru ia ketahui kemarin dan juga yang mencari masalah dengannya. Beomgyu menatap Jungkook meminta pertolongan, tetapi kakaknya itu juga ikut tertawa. Ia merasa dikhianati.

Tak mau berlama-lama, Beomgyu segera memberikan semangkuk seblak dan juga es teh. Tidak mengucapkan sepatah kata pun ia ingin segera beranjak dari sana karena malu, tetapi tangan Yeonjun lebih dulu menahannya sehingga kini keduanya saling bertatapan.

“Katanya berani mau ketemu langsung, ini udah Kakak samperin, lho?”

Sial. Beomgyu melupakan hal itu.

“La-lagian aneh, bikin orang malu aja,”

“Abis kamunya gemes, sini duduk dulu.”

Entah mengapa Beomgyu langsung menurut saja. Ia sendiri juga heran mengapa Yeonjun terlihat seperti sudah akrab sekali dengannya, apalagi sampai menggunakan panggilan Kakak-kamu. Bukannya mereka hanya sebatas tahu dan belum kenal?

“Kenapa? Kan aku di sini lagi kerja,”

Beomgyu sendiri juga menggunakan aku-kamu, tapi bukan karena ia ingin sok kenal, tapi memang lahir di Bandung tidak membuat kebiasaan berbicaranya berubah setelah pindah ke Depok.

“Sebentar aja kok, cuma nemenin Kakak makan seblak,” Yeonjun menyeruput kuah seblak level 3-nya dan ia tersenyum senang, “Ehm! Gila enak bener,”

Beomgyu tetap diam dan menunduk, ia tidak menatap Yeonjun yang kini memainkan ponselnya karena tiba-tiba ia sendiri merasa gugup, tidak tahu bagaimana harus memulai sebelum Yeonjun kembali mengajaknya bicara.

“Yak, jadi gimana? Kamu gamau minta maaf sama Kakak?” Yeonjun meletakkan ponselnya di samping mangkok seblak.

“Maaf apa?”

“Kan kamu udah ngirim menfess hate, masa lupa?”

Beomgyu merutuki dirinya dalam hati, “Oh, iya. Yaudah, aku minta maaf. Tapi sekarang beneran impas, kan? Seblakku juga enak, Kakak sendiri yang juga cari masalah duluan sama aku,”

Sial. Kini Beomgyu bahkan ikut menggunakan panggilan Kakak-Kamu yang semakin terdengar menggemaskan di telinga Yeonjun.

“Kakak juga minta maaf kalo gitu, kamu bener seblaknya enak, duh ... jadi pengen milikin yang punya juga.”

Beomgyu tertawa mendengarnya, sementara Yeonjun merasakan debaran yang semakin mengencang dan membuat ia mempertanyakan satu hal penting pada diri sendiri.

Apa benar jangan-jangan Beomgyu ini jodohku?

“Gak jelas.”

Tapi ucapan Beomgyu selanjutnya seperti menampar Yeonjun untuk kembali pada kenyataan. Beomgyu yang merasa tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini pun akhirnya segera berterus terang.

“Kak, kalau mau ngegombal jangan sama aku, ya? Gak mempan. Apa jangan-jangan Kakak ini lagi taruhan sama anak Malih? Aku bantuin kok kalau emang niatnya begitu.”

Ya, sekali lagi Beomgyu adalah orang yang tidak ingin berbasa-basi. Ia sudah mengetahui sedikit reputasi Yeonjun yang memang sering mendekati banyak orang tetapi tak ada satu pun yang berhasil jadi pacarnya. Dia lelaki buaya darat.

“Kok kamu mikirnya gitu? Gimana kalo sekarang Kakak bilang emang Kakak mau beneran deket sama kamu?”

Beomgyu melirik Yeonjun dari sudut matanya, ia tidak mengerti itu tatapan tulus atau main-main, yang jelas Beomgyu harus mempunyai pertahanan untuk dirinya sendiri. Ingat, mereka baru kenal.

“Stress.” desisnya singkat, “Udah Kak, seblaknya lanjut dimakan nanti keburu dingin ga enak.”

“Tinggal Kakak kata-katain, entar dia panas sendiri deh,”

Yeonjun melawak tidak lucu, tetapi sialnya Beomgyu adalah orang yang mudah tertawa, jadi ia tidak sengaja meloloskan kekehannya. Sementara Yeonjun yang melihat itu pun seperti diberikan sinyal baik atas umpan balik yang diberikan Beomgyu.

“Udah, kan? Masalah kita selesai? Aku mau masuk dulu sebelum ada pelanggan yang lain dateng.”

Beomgyu bangkit berdiri, tetapi tangan Yeonjun menahannya.

“Belum. Kita belum kenalan secara normal.” kini Yeonjun menarik tangan Beomgyu untuk berjabat dengannya, “Yeonjun. Choi Yeonjun. Panggil aja Kak Njun biar akrab.”

Yeonjun memberikan senyum terbaiknya yang membuat Beomgyu sedikit terpana akan ketampanannya. Tidak heran mengapa banyak yang jatuh hati pada lelaki ini.

“Beomgyu. Choi Beomgyu. Panggil apa-”

“Bami. Dik Bami.”

“Hah?”

“Belum ada, kan? Panggilan khusus dari Kakak untuk kamu. Bami.”

“O-oke ... tapi ga usah dik, dik, gitu lah geli,”

“Nyehehe, ga janji,”

Yeonjun terkekeh geli, ia memang sengaja usil dan sering memanggil orang dengan sebutan ‘dik’, tetapi sepertinya panggilan ini memang cocok untuk Beomgyu yang manis. Sementara Beomgyu masih sedikit tersipu karena nama dari Yeonjun terdengar lucu, ia pun bersiap untuk pergi lagi tapi tangan Yeonjun kembali menahannya.

“Apa lagi?”

“Jangan lupa follback twitter Kakak, ya?”

Yeonjun tetap mempertahankan senyumnya, Beomgyu pun menyerah dan ia mengangguk pelan. Setelah itu ia benar-benar pergi dari hadapan Yeonjun yang kini merasa senang sekali, bahkan ia langsung menghabiskan seblaknya dalam sekejap.

Misi pertamanya berhasil, ia akan terus semangat melancarkan agenda pendekatan pada Baminya yang jutek tapi manis itu. []

© 2021, moawaua.